All Chapters of Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!: Chapter 251 - Chapter 260

Siang hari di kota Yuzhou. Udara begitu panas hingga bayangan genting tampak bergetar, menari-nari di atas jalan berbatu. Suara roda pedati berderit, bersahutan dengan ringkik kuda dan teriakan para penjaja. Bau arang, keringat, sekaligus rempah bercampur di udara yang nyaris tak bergerak. Di sepanjang jalan utama, tirai-tirai bambu di restoran kecil digulung setengah, membiarkan cahaya menyusup ke dalam. Empat orang lelaki duduk melingkar di salah satu meja dekat jendela, wajah mereka merah karena panas, baju dilepas sebagian hingga dada terbuka, kipas rotan di tangan terus bergerak tanpa henti. “Dengar kabar, katanya keluarga Sun sedang mencari pengantin wanita untuk putra keduanya,” kata lelaki bertubuh tambun, mengibas keringat dari lehernya, “banyak yang bilang prianya harus berpendidikan, tidak masalah kalau dari keluarga biasa..” “Ahh, pria berpendidikan tapi keluarga biasa,” sambung yang berkumis tipis sambil menuang arak ke mangkuk kecil, “kalau aku masih muda dan bel

Waktu bergulir.Pasukan Kaisar masih siaga mengepung kantor kepala daerah Yuzhou, sementara para penduduk yang tadinya mengangkat senjata masing-masing dengan wajah galak bagaikan singa siap menerkam, kini dengan berkelompok berbalik arah; pergi, dengan dua kantong gandum di pundak, serta dua tael emas di tangan.Wajah mereka berseri-seri, sepanjang melangkah saling berbincang sambil tersenyum puas.“Yang Mulia ternyata pemimpin yang dermawan!”“Tadinya aku tidak percaya pada gelandangan tua borokan itu, tapi sekarang .... ah! Dua tael emas ini sudah sangat cukup menghidupi keluargaku sampai satu tahun penuh.”Hebat!Kaisar tidak main-main.Seperti yang dia ucapkan. Siapapun yang melangkah maju, akan diberikan dua kantong gandum beserta dua tael emas.Awalnya Liu Han khawatir orang-orang yang sudah dipengaruhi Zhuge Liang itu punya keberanian menyerang Kaisar. Dan ternyata dugaannya salah.Mulanya satu orang melangkah maju ragu-ragu, bingung harus melakukan apa, sampai golok di tangan

Dari atas bukit, dari posisi tiarap, seluruh pasukan kavaleri Kaisar telah siap melepaskan anak panah masing-masing! Drap! Drap! Drap! Di bawah sana, Zhuge Liang bersama pasukannya memacu kuda tanpa tahu ada pasukan besar yang siap mengerang. Pada hitungan kedua Liu Han. “Satu, dua, lepas!” Ribuan anak panah meluncur, menembus langit siang bagaikan rintik hujan hitam yang jatuh serentak dari langit. Srut! Thung! Suara ujung-ujung besi itu menembus udara, menimpa helm, dada, dan punggung pasukan Zhuge Liang. Dalam sekejap, formasi rapat yang tadi masih rapi kini berubah menjadi kekacauan penuh teriakan serta derap kuda yang meringkik panik. “Lindungi Komandan! Naikkan perisai!” seru salah seorang prajurit muda, tapi suaranya tenggelam di antara gemuruh panah yang tak berhenti turun. Pasukan Zhuge Liang sontak menghunus pedang mereka, menangkis sebisa mungkin. Bilah besi bertubrukan dengan batang anak panah, menimbulkan kilat kecil di udara. Sebagian berhasil menepis, tapi se

Dari menara pengintai tertinggi, seorang penjaga yang telah memicingkan mata sedari tadi, tiba-tiba menegang. Di kejauhan, di antara hutan yang separuh tertutup kabut, tampak barisan panjang bagaikan aliran semut yang tak berujung, merayap perlahan tapi pasti. Ketika bendera besar dengan lambang naga bersayap dari Negara Wan tampak jelas di barisan depan, penjaga itu menegakkan tubuh, menahan napas. Dia berteriak sekuat tenaga dengan suara parau bercampur haru menggema di atas benteng. “Buka gerbang! Yang Mulia telah kembali!” Suara itu langsung disusul dentuman rantai dan engsel besi yang berat. Krekkk! Brakk! Gerbang raksasa dari baja berlapis kayu tua mulai terbuka perlahan. Suara gesekan logamnya menggema di seluruh dataran depan kota, memantul di dinding batu dan genting atap. Serentak, penduduk yang tadinya sibuk menata dagangan, menimba air, atau menjemur kain, berhenti bergerak. Semua kepala menoleh ke arah suara itu. “Gerbang dibuka?” “Yang Mulia telah kem

Siang ini seekor elang terlihat berputar mengepakkan sayapnya di bagian timur paviliun persik. Chun Mei menatap sambil menggiling daun teh, Chu Qiao membantunya menyiapkan wadah serta air panas. Selang satu shichen, elang kembali mengepakkan sayapnya di lokasi yang sama. Chun Mei pun memperhatikannya sambil menumbuk mawar merah, sedangkan Chu Qiao menakar minyak jojoba dengan perhitungan mantap. Selang satu shichen lagi, elang yang Chun Mei yakini elang yang sama, kembali mengepakkan sayap di tempat serupa. Kali ini Chun Mei memperhatikannya sesaat sebelum menjatuhkan pandangannya pada Chu Qiao, yang tengah menghaluskan pakaian bayi jahitan Chun Mei menggunakan pionir seperti panci dengan perut membulat dan mulut yang lebar untuk diisi arang panas. Sejak pagi wanita itu tak pernah lepas dari pandangan Chun Mei, sikapnya pun selalu tenang, air mata atas kepergian Zi'er seolah telah mengering meski baru berlalu beberapa hari. Chun Mei kemudian berkata, “Musim gugur paling enak mak