All Chapters of Hati yang Tak Pernah Siap: Chapter 51 - Chapter 60

Lampu-lampu gantung di langit-langit pusat perbelanjaan memantulkan cahaya hangat yang berkilau di lantai marmer putih. Jejak langkah pengunjung yang berlalu-lalang, suara anak-anak tertawa, dan alunan musik lembut menciptakan suasana malam yang semarak. Zea dan Adrian baru saja keluar dari restoran Jepang yang berada di lantai atas. Perut kenyang, hati tenang setidaknya begitu yang Zea rasakan. Ia berjalan di samping Adrian yang menggenggam tangannya lembut, meski masih dengan satu tangan lain yang bertumpu pada tongkat. “Enak banget tadi yakinikunya,” ujar Zea sambil tersenyum. “Makanya aku ajak ke situ, biar kamu senang,” jawab Adrian, lalu memutar wajah ke arahnya. “Mau jalan sebentar?” “Boleh,” balas Zea singkat, sebelum menatap sekeliling. “Aku mau lihat toko mainan itu sebentar, ya? Mau cari hadiah buat keponakan.” Adrian mengangguk. “Oke. Aku ke toilet dulu, sebentar aja. Jangan jauh-jauh dari sekitar sini.” Zea mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam toko mainan yang

Udara pagi menyelimuti lereng pegunungan Bandung dengan embusan yang sejuk, menyusup di antara celah tirai kamar vila. Cahaya matahari menari pelan di dinding kayu, membangunkan Zea dari tidur lelapnya. Saat ia membuka mata, senyum kecil terbit di wajahnya ketika mendapati Adrian duduk di pinggir ranjang, memandangi wajahnya. “Pagi, istri cantikku,” bisik Adrian sambil menyelipkan rambut Zea ke belakang telinga. Zea menggeliat pelan, suaranya serak manja, “Kamu ngelihatin aku tidur dari kapan?” “Cukup lama buat bikin aku sadar… aku beruntung banget bisa bangun dengan kamu di sampingku.” Zea mengangkat alis. “Gombal pagi-pagi?” Adrian tertawa kecil. “Enggak juga. Tapi ada kejutan buat kamu.” Zea mengerutkan dahi. “Kejutan apa?” “Ganti baju. Kita mau ke sungai.” Perjalanan mereka tak jauh, hanya sekitar lima belas menit jalan kaki melewati jalan setapak yang dikelilingi pohon pinus dan suara burung yang bersahutan. Sungai kecil yang bening dan berbatu terhampar di hadapan merek

Matahari baru saja naik ketika aroma kopi mengisi ruang dapur vila. Zea berdiri di depan wastafel, menata piring-piring bekas sarapan tadi pagi. Sementara itu, Adrian yang masih mengenakan kaus putih dan celana santai sedang mengecek ponselnya. Raut wajahnya yang tadi lembut kini berubah tegang. Nada dering telepon yang mendadak nyaring mengusik suasana damai mereka. Adrian mengangkatnya cepat. “Adrian di sini. Ya? Apa?!” Zea menoleh cepat saat mendengar nada bicara Adrian yang berubah. “Bawa kabur dana investor?” Adrian menggertakkan rahangnya. “Apa dia gila?!” Zea menghampiri, meletakkan tangannya di lengan suaminya. “Ada apa?” Adrian menatapnya, wajahnya muram. “Wiratna. Dia—dia mengakses akun perusahaan diam-diam. Dana investasi kita semua ditarik paksa. Beberapa klien besar juga tiba-tiba mundur.” "Astaga! Bagaimana bisa?" Zea memegang dada. “Kamu harus ke kantor sekarang?” Adrian mengangguk. “Aku harus, karena ini darurat. Dia berniat menjatuhkan perusahaan.” Zea memeg

Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian dengan Pak Wiratna. Kehidupan perlahan kembali tenang. Perusahaan mulai stabil, media berhenti mengejar-ngejar pemberitaan tentang pengkhianatan itu, dan Adrian pun kembali tenggelam dalam aktivitas kantornya yang sempat kacau. Tapi di balik semua ketenangan itu, ada yang tidak beres.Zea. Tubuhnya lemah akhir-akhir ini. Pusing datang tak menentu, kadang pagi, kadang malam. Bahkan suhu tubuhnya naik turun seperti gelombang pasang.Namun Zea bukan tipe wanita yang mudah menyerah oleh sakit. Setiap kali Adrian bertanya, jawabannya selalu sama:“Aku cuma kecapekan.”Atau,“Mungkin karena kurang tidur.”Padahal wajahnya pucat. Bibirnya kering. Dan geraknya jauh melambat dibanding biasanya. Tapi setiap Adrian menyarankan untuk ke dokter, Zea menolak.“Aku nggak mau ke dokter, cukup kamu yang jagain aku.”Pagi itu, langit mendung menggantung, membuat suasana di vila terasa lebih dingin dari biasanya. Zea terbangun lebih lambat. Kepalanya berat, matany

Udara pagi di Bandung terasa lebih segar dari biasanya. Langit membentang luas tanpa awan, seakan tahu bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kabar besar.Adrian dan Zea tiba di rumah sakit pribadi dengan suasana yang jauh lebih tenang dibandingkan kemarin. Hari ini, tidak ada paksaan. Zea datang dengan kesadaran penuh, meski tetap tampak gugup.Ruang tunggu VIP di lantai tiga tampak sunyi. Hanya suara detik jam di dinding yang menemani waktu berjalan lambat.Zea duduk di kursi empuk, jemarinya memainkan kancing cardigan yang dipakainya. Adrian duduk di sebelahnya, tangan hangatnya menggenggam erat jemari Zea.“Kamu gugup?” bisiknya pelan.Zea menoleh, mencoba tersenyum meski senyum itu samar. “Kamu juga, kan? Lihat tuh tangan kamu dingin.”Adrian mengangkat satu alis, kemudian tertawa pelan. “Iya. Tapi jujur aja, aku lebih takut kamu jatuh pingsan lagi karena mikir yang enggak-enggak.”“Aku udah nggak pingsan lagi.” Zea menarik napas panjang. “Dan aku siap denger apa pun.”Pang