Lahat ng Kabanata ng Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku: Kabanata 281 - Kabanata 290

            Suara air kamar mandi akhirnya berhenti, diikuti bunyi pintu yang terbuka pelan. Gian keluar dengan rambut agak basah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek rumah. Wajahnya tampak pucat, tapi bukan hanya karena sakit perut seperti yang ia bilang tadi. Aurelia cukup mengenal suaminya untuk tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan.“Sayang,” panggil Aurelia pelan dari atas tempat tidur.Gian mengangkat kepala, tersenyum tipis. “Hm?”“Kau… tidak apa-apa?” tanya Aurelia, matanya menelusuri gerak tubuh Gian yang terasa lebih hati-hati dari biasanya.“Aku baik-baik saja.” Ia mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur. “Tadi mungkin makan siangku agak aneh. Perutku melilit waktu perjalanan pulang. Tapi sudah mendingan sekarang.”            Aurelia ingin percaya, tapi a

“Sayang, kenapa kau berkata begitu?” suara Gian terdengar pelan namun sarat kebingungan. Tatapannya tak mengerti arah pembicaraan istrinya. Pertanyaan yang tadi itu meluncur pelan, tapi menghantam Gian seperti palu.            Aurelia berdiri di hadapannya, kedua tangannya mengepal kuat di samping tubuh. Wajahnya tak lagi cerah seperti pagi tadi. Ia menunduk sejenak, menahan napas yang terasa berat.            Alih-alih menjawab, Aurelia justru melangkah cepat ke arah sudut ruangan dan menyambar rantang makan yang tadi ia sembunyikan. Tangannya sedikit gemetar. Bukan karena takut, tapi karena rasa kecewa yang sudah menumpuk.            Tak sampai satu menit kemudian, ia menekan tombol interkom di meja kerja Gian. “Rafi, tolong ke ruangan suamiku s

            Aurelia terpaku. Napasnya tercekat. Kata-kata Gian tadi menggema begitu keras di dalam kepalanya. Air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan, kini tak bisa lagi dibendung. Menetes deras di pipi pucatnya, satu per satu.            Sementara di hadapannya, Gian berdiri dengan wajah kusut dan frustrasi. Jemarinya menjambak rambut sendiri, matanya terpejam seakan sedang berperang dengan isi kepalanya sendiri. “A-aku tidak tahan, Lia,” katanya akhirnya dengan suara yang terdengar pecah.Aurelia menatapnya bingung, matanya membesar. “Apa?”“Tuduhanmu salah,” lanjut Gian cepat. Napasnya terdengar berat, namun kali ini tidak ada nada marah di dalamnya. Justru yang terdengar adalah kejujuran telanjang, perasaan yang ben

Aurelia menepuk jidatnya pelan, ekspresi wajahnya campuran antara tak percaya dan malu.“Ya ampun…” gumamnya lirih. Sadar sepenuhnya bahwa mereka bukan berada di kamar tidur seperti seharusnya, tapi di ruangan rahasia Gian, ruangan pribadi yang tersembunyi di balik ruang kerjanya. Saking tenggelam dalam kebersamaan mereka, Aurelia bahkan lupa waktu.Ia melirik jam di dinding. Jarum panjang sudah jauh berputar. “Jadi kita di sini sudah dua jam?” katanya sambil menggeleng-geleng, separuh tertawa, separuh kalang kabut.Gian yang tengah duduk santai di single sofa dengan bertelanjang dada, hanya terkekeh pelan. “Waktu jadi cepat kalau aku bersamamu, Sayang,” ujarnya dengan nada menggoda.“Ya, dan kita juga bisa kena masalah kalau ada orang lain yang tahu,” sahut Aurelia sambil menarik selimut menutupi tubuhnya yang masih hanya berbalut pakaian dalam tipis. Ia menghembuskan napas panjang, matanya masih sem

            Malam itu restoran yang mereka pilih cukup tenang. Lampu gantung bernuansa hangat menyala lembut, dan aroma rempah-rempah khas masakan Indonesia memenuhi ruangan. Gian menarik kursi untuk Aurelia, seperti kebiasaannya sejak mereka menikah. Meski wajahnya masih menyimpan sisa gugup, Aurelia berusaha tampil tenang.Di seberang meja, Nyonya Lestari tampak bersemangat. “Ibu bawakan asinan bogor tadi dari perjalanan. Ini, coba dulu. Ibu taruh di cooler bag biar tetap segar.”Wajah Aurelia seketika berbinar. “Asinan bogor? Yang ada nanas dan sawi asin itu, Bu?”“Iya,” jawab sang mertua sambil mengeluarkan wadah bening berisi asinan lengkap dengan kuah bening asam pedas yang menggoda. “Ibu tahu kau suka yang segar-segar, jadi sengaja beli lebih banyak.”Aurelia langsung mengambil piring kecil. Ia mencicipi satu sendok kuahnya terlebih dahul