Lahat ng Kabanata ng Terpaksa Jadi Mempelai Pengganti di Pernikahan Kakakku: Kabanata 291 - Kabanata 300

            Pagi itu aroma roti panggang dan wangi kopi memenuhi dapur. Cahaya matahari menembus tirai tipis, memantul lembut di atas meja makan. Gian duduk rapi dengan kemeja kerja biru muda, sementara Aurelia di seberangnya, dengan rambut dikuncir seadanya dan laptop terbuka. Ia mengaduk segelas susu hangat, tapi belum juga meminumnya.“Sayang, kau yakin tidak mau istirahat dulu sebelum ke kampus?” tanya Gian sambil menyentuh punggung tangan istrinya.Aurelia menggeleng pelan. “Hari ini aku ada bimbingan. Prof. Malika bilang mau bahas bagian metodologi dan instrumen penelitian yang kupakai tempo hari. Kalau aku tunda, revisinya akan makin menumpuk.”Gian mengangguk. Ia tahu betapa Aurelia perfeksionis dalam hal akademik. “Kau pasti bisa,” katanya ringan, mencoba memberi semangat. “Anggap saja ini satu langkah kecil lagi menuju kelulusan.”Aurelia terse

“Iya,” jawab sang mertua bersemangat. “Yoga bagus untuk ibu hamil. Bisa bantu tubuh tetap lentur, pernapasan lebih teratur, dan katanya bisa bikin proses persalinan nanti jadi lebih mudah. Teman Ibu itu bilang kelasnya sangat ramah untuk pemula juga.”Gian menatap Aurelia sambil mengunyah pelan. “Kedengarannya bagus juga, Sayang. Badanmu kan sering kaku belakangan ini. Yoga mungkin bisa bikin kau lebih rileks.”Aurelia menggigit bibirnya sebentar, tampak berpikir. “Tapi… aku belum pernah ikut yoga sebelumnya. Takutnya malah bikin pegal.”“Justru itu makanya kau cocok mulai sekarang,” timpal Nyonya Lestari cepat. “Nanti kau ketemu ibu-ibu hamil lain juga. Bisa jadi ajang berbagi cerita. Tidak hanya diam di rumah menghadap laptop dan penelitianmu itu.”Tuan Mahesa mengangguk setu

Hari pertama bed rest terasa seperti hukuman. Aurelia terbangun di pagi yang terlalu cerah, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah tirai kamarnya, menerangi tumpukan buku dan laptop yang sengaja Gian pindahkan ke sudut ruangan. Ia menatap langit-langit kamar, mendengar suara lembut AC dan aroma kopi yang samar-samar dari dapur tempat Gian sedang sibuk. Tapi di dalam dirinya, ada badai yang tidak kunjung reda.Tesisnya. Tenggat waktu itu seperti bayang-bayang yang mengintai, menggerogoti setiap inci ketenangannya. Ia sudah menghabiskan berbulan-bulan untuk penelitian itu, mengorbankan tidur, waktu bersama Gian, bahkan momen-momen kecil untuk sekadar menikmati kehamilannya. Sekarang, ketika ia seharusnya fokus pada bayi yang dikandungnya, pikirannya justru melayang ke email dari profesor pembimbingnya yang belum dibalas, ke data yang belum dianalisis, ke bab terakhir yang masih berupa draf berantakan.“Aku harus bangun,” gumamnya pada dirinya sendiri,

            Hari itu, setelah seminggu penuh istirahat dan koordinasi dengan grup penelitian yang direkomendasikan Wulan, Aurelia merasa cukup pulih untuk kembali ke kelas yoga kehamilan.         Dokter telah memberikan lampu hijau, dengan syarat ketat. Tidak ada gerakan berlebihan, banyak minum air, dan segera berhenti jika ada tanda-tanda kram. Aurelia setuju, meski di dalam hati ia masih sedikit cemas. Namun, semangatnya kembali berkobar, terutama karena tema kelas kali ini spesial, yakni yoga kehamilan bersama pasangan.“Serius, Gian, kau tidak boleh tertawa kalau aku kelihatan aneh nanti,” kata Aurelia sambil menarik kaus longgar yang menutupi perutnya yang semakin membulat. Mereka berdiri di depan cermin kamar, bersiap berangkat ke studio yoga Wina. Aurelia memandang pantulan dirinya, merasa sedikit tidak percaya diri dengan tubuhnya yang berubah.Gian, yang seda

            Aurelia dan Gian muncul dengan wajah ceria, tangan mereka saling bergenggaman. Aurelia mengenakan dress longgar dengan motif bunga yang membuatnya terlihat segar, sementara Gian, dengan kaus sederhana dan celana pendek, tampak lebih santai dari biasanya. Tawa kecil mereka masih terdengar, sisa dari ritual cinta pagi tadi di kamar, membuat suasana ruangan terasa hangat sebelum mereka duduk di meja makan.            Nyonya Lestari yang sedang menyusun piring berisi telur dadar dan irisan buah, menoleh dan tersenyum lebar melihat pasangan itu.“Lihat tuh, pasangan bahagia,” katanya, matanya berbinar penuh kebanggaan. “Ibu bilang juga apa ‘kan? Yoga itu sangat bermanfaat. Lihat Aurelia, wajahnya cerah sekali sekarang.”            Aurelia tersenyum, pipinya sedi