All Chapters of Istri Barbar Direktur Sad Boy : Chapter 101 - Chapter 110

Kata dokter, kondisi Alda semakin membaik. Bahkan, masker oksigen yang selama ini membekap mulut gadis itu telah dilepaskan. Tentu saja, kabar ini membuat semua orang menghela napas lega karena gadis itu akhirnya selamat.“Assalamualaikum.” Salam dari Erlin dan sang suami membuat seluruh orang yang ada di dalam ruangan Alda menoleh ke arah pintu.“Waalaikumussalam,” sahut semuanya bersamaan.Erlin tersenyum. Wanita itu lantas mendekati Alda dan memeluk sang menantu dengan hati-hati. “Alhamdulillah, menantu kesayangan bunda udah bangun.”Sementara Netta langsung mundur membiarkan Erlin mendekati Alda.“Bunda khawatir banget sama kamu,” tutur wanita itu sembari mengusap air matanya. Pelukannya pada Alda sudah terlepas.“Ini udah bangun, Bunda.” Alda tersenyum. Tangannya lalu mengusap pelan air mata sang mertua.“Tapi lama banget. Tuh, suami kamu bunda liat udah kayak mayat hidup pas kamu koma.” Erlin hapus air matanya pelan. “Dia nggak pernah rela kamu tinggalin. Bahkan Ardian ngamuk pa

“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Ayudia binti Arland Alfandy Ardinata dengan mas kawin sebuah cincin berlian dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!” “Bagaimana para saksi?” “SAH!” sahut semuanya serentak membuat Ardian menghela lega. Seperti ucapan Netta, Ardian hari ini benar-benar kembali mengucapkan ijab kabul untuk yang kedua kalinya. Tidak seperti setahun yang lalu yang dilaksanakan dengan meriah, pernikahan Ardian dan Alda untuk yang kedua kalinya ini dilaksanakan di rumah sakit karena gadis itu yang belum diperbolehkan untuk pulang. Kata dokter, mungkin kira-kira seminggu lagi baru Alda bisa pulang. Itu juga belum sepenuhnya sembuh total karena setelahnya Alda masih harus menjalani terapi rutin agar bisa kembali berjalan normal. “Jagain anak mama ya, mama titip dia sama kamu.” Diana menggenggam tangan Ardian sembari mengusap sudut matanya. Lagi-lagi, perasaan haru menghampirinya. “Ia, Ma,” sahut Ardian. Ini bukan janjinya, tapi sebisa mungkin akan ia laksanaka

Netta diam merenung di balkon kamarnya. Pandangannya menatap kosong ke arah langit senja yang perlahan meredup. Sejak pertanyaan besarnya kepada Meira di taman rumah sakit beberapa waktu lalu, hari-hari terasa berjalan lambat. Waktu seolah menolak berjalan, hal yang semakin menyeretnya ke dalam kubangan rasa penasaran. “Seperti dugaan kita, pelakunya orang dalam. Dia orang terdekat Alda.” Netta masih mengingat jelas ucapan Meira sore itu. Ucapan yang tak diiringi penjelasan lebih jauh, hanya ditutup dengan senyum misterius khas Meira yang membuatnya kesal luar biasa. Perempuan itu menendang pembatas balkon saking geramnya. “Dasar Meira nenek sihir! Katanya kita temenan, gini aja masih harus sok berahasia!” “Padahal, gue kan kakaknya Clarissa. Kenapa juga dia yang harus sok jadi pahlawan segala?” Ia menggigit bibir bawahnya lantaran gusar. “Sebenarnya, siapa yang mau lenyapin Alda? Siapa dalang di balik tabrak lari itu?” Pertanyaan itu bergema tanpa jawaban. Netta mengepalka

Dua tahun sudah rumah tangga Ardian dan Alda berjalan. Satu bulan lalu Alda sudah diwisuda dan kini sedang sibuk mengurusi butik yang merupakan hadiah pernikahannya dengan Ardian dari orang tuanya. Selain butik, ada sebuah kafe yang juga sedang dikembangkan oleh pasutri itu saat ini. Kafe itu merupakan hadiah pernikahan mereka dari orang tua Ardian. Erlin saat itu bilang, dia dan sang suami tidak mau kalah saing dari besan mereka. Mereka juga mau menghadiahkan sesuatu untuk putra dan menantu kesayangan mereka. Dan kafe itu adalah hadiahnya. Soal Vielca Cafe, kafe itu sudah diserahkan Alda sepenuhnya kepada ketiga sahabatnya karena ia sudah tidak sanggup lagi mengurus semuanya. Untuk bagi hasil, ia tidak akan meminta lagi uang dari kafe itu. Alda sendiri sudah bisa berjalan lagi sejak dua bulan lalu usai menjalani terapi secara rutin selama empat bulan. Pagi ini, Alda duduk di tepi kolam rumahnya dengan senyuman yang belum pudar. Ia sibuk memandangi arsitektur rumah ini dengan

Alda menatap gedung kantor Ardian dengan senyuman yang belum pudar dari wajahnya. Ditatapnya rantang makanan yang ia bawa di tangannya. Hari ini ia berniat memberikan surprise untuk sang suami. Wanita itu melangkah pelan memasuki gedung Starry Land. Perutnya yang terlihat membuncit di usia kehamilannya yang baru usia tiga bulan tak membuat semangatnya surut. Sesampainya di ruang kerja Ardian, ia langsung mengetuk pintu. "Masuk!" titah Ardian dari dalam. Alda membuka pintu pelan dan melangkah masuk. Di meja kerjanya, Ardian masih terlihat fokus menatap layar laptop sehingga tidak menyadari kehadirannya. "Ada apa?" tanya laki-laki itu tanpa mengangkat wajahnya. Alda menghela. Ia lantas mendekat dan menggeser laptop Ardian. "Udah jam makan siang. Kerjaannya nanti aja dilanjut," ujarnya lembut. Ardian yang sudah mendongak hendak marah karena ada yang dengan tidak sopan mengganggunya kerja langsung mengubah mimik wajah begitu menyadari kehadiran Alda. "Aku kira siapa tadi yan