Malam itu, setelah Siska pulang membawa map biru berisi proposal pembelian Warung Arsya, aku dan Arga duduk berdua di kamar. Arsya sudah terlelap di sisi ranjang, sesekali merengek kecil sambil menarik selimutnya sendiri. Aku memeluk lutut di ujung ranjang, sementara Arga duduk bersandar di dinding, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Suara jangkrik di luar jendela seolah jadi backsound perdebatan batin kami yang semakin sunyi. “Ga… kamu mau jual Warung Arsya?” tanyaku pelan, nyaris berbisik. Arga mendesah berat. “Aku nggak tau, Ran. Di satu sisi, kalau kita jual, masalah KW, reseller mundur, dan modal habis bisa kelar. Kita dapat uang gede, bisa bayar hutang ke supplier, bisa mulai hidup baru. Nggak capek begini lagi.” Aku menunduk, menatap telapak kakiku sendiri yang kedinginan di ubin. “Tapi di sisi lain… kalau kita lepas, aku kayak kehilangan anak kedua, Ga. Warung Arsya ini lahir dari tanganku. Aku yang racik sambalnya, aku yang bikin label, aku yang bung
Last Updated : 2025-08-26 Read more