บททั้งหมดของ Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan: บทที่ 211 - บทที่ 220

“Adeline!”Begitu telepon tersambung, suara Felix terdengar penuh perasaan memanggilnya.“Barusan Valencia mengirim beberapa foto padaku, itu dari kamu?” Adeline tidak membuang waktu dengan kata-kata bertele-tele.Felix terdiam, dan dari keheningan itu Adeline langsung tahu jawabannya. Dada terasa sesak, suaranya bergetar, “Kamu bisa menemuinya? Atau….”Kalimat berikutnya tak bisa ia susun, akhirnya ia berhenti.Dia bukan tipe orang yang akan kehilangan kata-kata hanya karena gugup, kecuali saat benar-benar dilanda rasa takut.Felix mengerti kekhawatirannya soal Leo. “Dalam dua puluh empat jam tidak mungkin bisa menemuinya. Foto itu dikirim diam-diam oleh orang dalam kepadaku… jangan terlalu khawatir, hanya luka-luka di kulit…”Hanya luka di kulit? Apa itu tidak termasuk luka?Apalagi, Leo itu takut sakit….“Adeline.” Mendengar ia diam, Felix kembali memanggilnya dengan lembut. “Ini urusan orang-orang di atas yang sedang menggerakkan sesuatu. Aku juga sedang berusaha mencari hubungan,

Anastasia menatap Adeline, namun sama sekali tidak memberi tanggapan.Adeline mengira dia masih merasa takut dan khawatir. “Anastasia...”“A... a...” Anastasia berusahaberbicara, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya terbata-bata, tak bisa keluar dengan jelas. Wajah pucatnya karena itu memerah, menunjukkan kegelisahan.Adeline menggenggam erat tangannya. “Jangan panik, pelan-pelan saja... lihat mataku, lalu sampaikan padaku apa yang ingin kamu katakan.”Dulu hubungan mereka begitu baik, bahkan Adeline pernah bercanda bahwa mereka seakan saling terhubung hati dan pikiran. Tapi sekarang baru ia sadari, betapa sombong dan naifnya ucapan itu dulu, ia bahkan tidak menyadari luka yang pernah dialami Anastasia saat itu.Namun, setidaknya lewat tatapan, mereka masih bisa saling mengerti. Adeline yakin ia bisa membaca isi hati Anastasia.Tatapan Anastasia perlahan turun, dari wajah Adeline, lalu ke pakaian yang ia kenakan, hingga akhirnya berhenti pada cincin di jari tangannya. Dan k

Password?Adeline sama sekali tidak tahu password brankas milik Leo.Namun ia tetap ingin mencoba. Setelah bertanya kepada staf bank berapa kali kesempatan memasukkan password yang tersedia, Adeline mulai mencoba untuk pertama kalinya. Ia tidak mengetik tanggal lahir Leo.Bagi pria sebesar dia, tanggal lahirnya sama saja dengan hari besar seperti Tahun Baru, semua orang tahu. Menjadikan itu sebagai password sama saja dengan tidak memberi password sama sekali.Adeline lalu memasukkan tanggal lahir Anastasia. Ia pernah mendengar orang bilang, seorang pria yang benar-benar mencintai seorang wanita akan menjadikan tanggal lahir wanita itu sebagai password. Entah siapa yang pertama kali mengatakan itu, tapi banyak pasangan kekasih yang memang melakukannya.Leo begitu mencintai Anastasia, tanggal lahirnya tentu jadi pilihan pertama.[Maaf, password yang dimasukkan salah.]Adeline agak terkejut. Ternyata bukan tanggal lahir Anastasia.Apakah mungkin justru sebaliknya? Leo malah memakai tangga

“Adeline, tempat ini belum dibongkar. Tapi dua hari lagi bakal mulai. Benar-benar tepat waktu!”George datang lebih cepat daripada Adeline, ia sudah menunggu di sana.Mendengar itu, Adeline pun menghela napas lega, melangkah masuk seraya bertanya, “Kau bisa menggali tanah, bikin lubang?”George mengernyit. Jujur saja, ia bahkan tak akrab dengan alat-alat gali begitu.“Pernah… mengubur orang,” jawabnya akhirnya.Adeline meliriknya. George menyeringai miris. “Sungguh. Waktu itu bareng Leo juga…” Orang-orang ini memang pernah melakukan hal-hal yang tak manusiawi. Termasuk Felix. Di dunia bisnis, jarang ada tangan yang benar-benar bersih.Lapangan latihan lama diselimuti debu, rerumputan liar tumbuh di mana-mana. Suasananya begitu muram sampai nyaris tak terbayang betapa riuhnya tempat ini dulu.Adeline berlatih di sini tiga tahun, banyak sudutnya menyimpan jejak ingatan yang dalam. Kini yang tersisa hanya puing dan semak, hatinya seolah ikut terlapisi debu.Tiba-tiba ia teringat sebuah k

Sikap Adeline membuat George agak gelisah. “Adeline, benda ini sangat penting, itu adalah kartu tawar-menawar dengan orang itu.”“Aku tahu.” Jawabnya tenang, tanpa gelombang sedikit pun.George paling takut menghadapi orang seperti ini. Orang lain sudah gelisah seperti semut di atas wajan panas, tapi dia tetap datar seolah tak ada urusan. Tak bisa dipungkiri, dia semakin mirip dengan Leo, benar-benar membenarkan pepatah, dekat dengan tinta, lambat laun ikut menghitam.“Lalu kenapa kau masih menahannya? Karena Anastasia? Kau ingin melindunginya?” tebak George.Bulu matanya yang lentik terkulai alami, sosoknya yang tenang memancarkan keindahan dingin. “Aku tahu batasanku.”George masih ingin berbicara lagi, tapi Mikaylo menggeleng ringan padanya. Mau tak mau ia menelan kembali kata-kata itu.Tak lama kemudian, ponsel berhasil diperbaiki. Setelah menerimanya, Adeline menyampaikan terima kasih lalu pergi.George tidak ikut. Ia masih tinggal dan melampiaskan keluh kesahnya pada Mikaylo. “Ak