Lahat ng Kabanata ng Magang di hati CEO tampan : Kabanata 161 - Kabanata 170

Alya menghabiskan sisa jam kerja pertamanya dalam keadaan linglung. Dokumen-dokumen proyek yang tadinya tampak begitu menarik dan penuh potensi, kini terasa seperti tumpukan kertas tak berarti. Pikirannya terus berputar pada satu nama: Dian Rahma. Nama yang ia kira sudah ia kubur dalam-dalam bersama masa lalunya di Arroihan Group.​Setiap kali salah satu anggota tim barunya yang ramah datang menyapa, Alya harus memaksakan seulas senyum, sambil bertanya-tanya dalam hati: Apa kau tahu? Apa kau bagian dari permainan ini? Paranoia mulai merayapinya, mengubah kantor yang tadinya terasa modern dan penuh harapan menjadi sebuah tempat yang penuh dengan bayangan dan rahasia.​Perjalanan pulang terasa begitu lama. Ia duduk di dalam taksi, menatap gedung-gedung Jakarta yang menjulang, namun tidak melihat apa pun. Kekuatan dan rasa percaya diri yang ia rasakan pagi tadi kini telah menguap, digantikan oleh firasat buruk yang dingin dan menusuk.​Saat ia tiba di rumah, Arka s

​Kata ‘detektif swasta’ menggantung di udara ruang kerja yang sunyi itu, terasa lebih dingin dan lebih berbahaya daripada kata ‘rival’ atau ‘musuh’. Ini bukan lagi permainan catur korporat. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih personal dan mengancam.​“Detektif swasta?” bisik Alya, mencoba memahami implikasinya. “Untuk apa Dian menyewa detektif? Apa yang dia cari yang tidak bisa ia temukan di internet?”​Arka menatapnya, wajahnya begitu serius. “Detektif swasta tidak mencari informasi publik, Al. Mereka mencari kotoran. Rahasia yang terkubur. Sesuatu yang orang lain rela bayar mahal untuk tetap menjaganya tersembunyi.”​Pikiran Arka langsung bekerja cepat, menghubungkan semua titik. “Folder-folder di komputernya… investigasinya tentang ayahku dan ayahmu… itu semua baru permulaan. Dia pasti menemukan sesuatu, sebuah benang merah, yang membuatnya merasa butuh bantuan profesio

​Beberapa hari berlalu dalam ketenangan yang menipu. Di permukaan, kehidupan Alya dan Arka berjalan normal. Pagi hari diisi dengan rutinitas mengantar Bara ke sekolah. Siang hari, Alya akan pergi ke kantor Oracle Foundation, mencoba fokus pada pekerjaannya yang sesungguhnya: menyusun program bimbingan membaca. Malam hari, ia dan Arka akan makan malam bersama, berbagi cerita ringan. ​Namun, di bawah permukaan, ada sebuah ketegangan yang terus-menerus mengintai. Setiap kali Alya duduk di depan komputernya di kantor, ia selalu teringat pada folder kosong bernama ‘Proyek Kupu-Kupu Malam’. Setiap kali ia berpapasan dengan Seraphina di koridor dan menerima senyum ramahnya, ia bertanya-tanya, ‘Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?’ ​Keheningan dari Sandra Arroihan juga terasa aneh. Setelah ledakan amarahnya di telepon, wanita itu tiba-tiba diam seribu bahasa. Bagi Alya, keheningan dari seorang Sandra justru jauh lebih menakutkan daripada teriakannya. ​Suatu siang, saat Alya sedang istiraha

​Kehadiran Raka yang tiba-tiba dan santai terasa seperti jangkar di tengah lautan yang berbadai. Alya akhirnya bisa bernapas lega.​“Jadi Arka benar-benar mengirimmu ke sini untuk menjagaku?” tanya Alya, masih sedikit tidak percaya.​Raka tertawa sambil mengambil segelas minuman dari nampan yang lewat. “Tentu saja. Perintah langsung dari ‘Komandan’,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata. “Katanya, ‘Jangan sampai Ratu kenapa-napa’. Lo sekarang aset penting, Kakak Ipar.”​Gaya bicaranya yang jenaka membuat Alya tersenyum. “Ada-ada saja kamu.”​“Serius,” kata Raka, nadanya kini sedikit lebih serius. “Danuarta itu anjing penjaga paling setia milik Tante Sandra. Fakta bahwa dia menghampirimu secara langsung, itu artinya Tante Sandra panik. Kamu sudah berhasil membuatnya tidak nyaman. Langkah yang bagus.”​Pujian tak terduga dari Raka itu meningkatkan keper

​Bab 168: Menerima Tangan Sang Ular​Pagi harinya adalah hari Minggu. Kehangatan dan keintiman dari malam sebelumnya masih terasa, menyelimuti rumah dengan kedamaian yang Alya rindukan. Mereka menghabiskan pagi itu seperti keluarga normal: membuat sarapan bersama, menemani Bara bermain di taman, dan tertawa karena hal-hal kecil. Untuk sesaat, Alya nyaris lupa pada papan catur rumit yang menunggunya di luar sana.​Namun, ia tahu ia tidak bisa mengabaikannya. Setelah Bara tidur siang, ia duduk sendirian di teras, menatap kartu nama Seraphina yang ia letakkan di meja. Ia sudah berjanji pada Arka dan pada dirinya sendiri. Ia akan memainkan permainan ini.​Dengan jantung yang berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya, ia menekan nomor Seraphina. Sebuah panggilan telepon terasa lebih tegas daripada pesan singkat.​“Seraphina Wijoyo,” suara di seberang sana terdengar halus dan profesional, bahkan di hari Minggu.​“Selamat siang, Seraphi