All Chapters of Magang di hati CEO tampan : Chapter 171 - Chapter 180

​Alya pulang ke rumah sore itu dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sangat puas dan kuat. Di sisi lain, ia lelah luar biasa, seolah baru saja menyelesaikan ujian terberat dalam hidupnya.​Arka menyambutnya di pintu. Ia tidak perlu bertanya. Ia bisa melihat semuanya dari binar kemenangan di mata istrinya. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik Alya ke dalam pelukannya, sebuah pelukan yang penuh dengan kebanggaan.​“Aku tahu kamu bisa melakukannya,” bisiknya di puncak kepala Alya.​Di atas sofa yang nyaman, dengan secangkir teh hangat di tangan, Alya menceritakan setiap detail rapat itu. Arka mendengarkan dengan saksama, sesekali tertawa saat Alya menirukan ekspresi masam Liana.​“Menggunakan kebaikan sebagai senjata,” kata Arka penuh kekaguman. “Itu brilian, Sayang. Benar-benar brilian. Sesuatu yang ibuku atau Seraphina tidak akan pernah menduganya.”​Namun, gema dari kemenangan Alya menyebar lebih

​Akhir pekan itu terasa seperti menahan napas. Alya terus-menerus memeriksa ponselnya, menunggu balasan dari Seraphina. Setiap jam yang berlalu tanpa jawaban terasa seperti sebuah penolakan diam-diam, membuatnya semakin cemas. Apakah ia telah melakukan kesalahan? Apakah ia baru saja menghancurkan satu-satunya jembatan yang bisa menjadi aliansi?​Arka, yang bisa merasakan kegelisahan istrinya, mencoba menenangkan. “Tenang, Sayang. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Sekarang, biarkan dia yang berpikir. Bola ada di tangannya.”​Balasan itu akhirnya datang pada hari Minggu sore. Bukan email formal yang dingin, melainkan sebuah pesan WhatsApp singkat yang mengejutkan Alya.​Alya, emailmu sudah kuterima. Aku mengerti dan sangat menghargai integritasmu. Itu adalah kualitas yang langka di kota ini. Sampai bertemu di rapat.​Itu saja. Tidak ada nada kecewa. Tidak ada amarah. Justru ada nada… penghargaan. Respon yang begitu elegan dan tak terdu

Keheningan yang mengikuti akhir rekaman audio itu terasa begitu pekat, lebih berat daripada keheningan mana pun yang pernah Alya rasakan. Suara berderak dari speaker laptop yang kini senyap terdengar lebih keras daripada ledakan.​Penghancuran. Sentimen pribadi. Seorang wanita.​Tiga frasa itu berputar-putar di benak Alya, merangkai ulang seluruh sejarah hidupnya. Ia teringat ayahnya di bulan-bulan terakhirnya: wajah yang selalu tampak lelah, bahu yang merosot karena menanggung beban, dan sorot mata yang kehilangan cahayanya. Semua orang, termasuk Alya, mengira ayahnya kalah dalam pertarungan bisnis yang adil. Mereka mengira ia meninggal karena serangan jantung yang dipicu oleh stres dan kelelahan.​Tapi sekarang ia tahu. Ayahnya tidak kalah. Ayahnya dihancurkan. Secara sistematis, tanpa ampun, dan karena sebuah alasan pribadi yang kelam. Itu bukanlah kegagalan bisnis. Itu adalah sebuah pembunuhan, yang dilakukan secara perlahan dengan senjata bernama kekuasaan.

Keheningan yang mengikuti ucapan Arka terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang penuh kesedihan atau amarah, melainkan keheningan yang dipenuhi oleh kengerian dan ketidakpercayaan yang dingin.​Seraphina.​Nama itu kini terdengar seperti gema dari sebuah pengkhianatan yang jauh lebih dalam. Bukan Dian Rahma, wanita yang obsesinya sudah mereka kenali. Bukan Sandra, musuh yang permainannya sudah bisa mereka tebak. Melainkan Seraphina. Wanita yang tersenyum ramah, yang menawarkan aliansi, yang berpura-pura menjadi sekutu. Dialah dalang sesungguhnya.​“Tidak mungkin,” bisik Alya, lebih pada dirinya sendiri. “Kenapa? Untuk apa dia melakukan semua ini?”​“Untuk menghancurkanku,” jawab Arka, suaranya terdengar datar, namun di baliknya ada nada getir yang dalam. “Tapi tidak melalui perusahaan. Melalui dirimu. Melalui kita.”​Arka berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap kegelapan di luar. Pikirannya bek

​Keesokan paginya, Alya bangun dengan perasaan yang berbeda. Kabut kebingungan dari malam sebelumnya telah menguap, digantikan oleh sebuah tujuan yang tajam dan jelas. Ia dan Arka akan melakukan perjalanan, bukan untuk liburan, melainkan untuk sebuah ziarah ke masa lalu.​Mereka memutuskan untuk pergi hari itu juga. Hari Sabtu. Sempurna. Bara tidak sekolah, dan Arka bisa mendedikasikan seluruh harinya untuk misi ini.​“Kita bilang pada Bara kita mau liburan ke Puncak, lihat kebun teh,” kata Alya pada Arka saat mereka bersiap. “Tidak ada gunanya membuatnya cemas.”​Arka setuju. “Mbak Rini akan ikut untuk menemani Bara, jadi kita bisa fokus bicara dengan Pak Sutedjo.”​Perjalanan menuju Puncak terasa begitu kontras dengan perjalanan mereka dari Garut ke Jakarta. Kali ini, mereka meninggalkan hutan beton di belakang, menuju kesejukan pegunungan. Bara, tentu saja, sangat gembira. Ia terus menunjuk ke luar jendela, berteriak