All Chapters of Magang di hati CEO tampan : Chapter 151 - Chapter 160

Beberapa hari setelah serangan balasan Arka, suasana di sekitar Alya berubah drastis. Keheningan yang ia dapatkan bukan lagi keheningan yang mengancam, melainkan keheningan yang lahir dari rasa segan, dan mungkin sedikit, rasa takut dari orang lain. ​Saat mengantar Bara ke sekolah pada hari Senin, pemandangannya luar biasa berbeda. Para ibu yang tadinya menatapnya dengan dingin, kini serempak menghindari tatapan matanya atau memberikan senyum kaku yang dipaksakan. Liana dan kroni-kroninya sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Portal gosip favorit mereka telah lenyap dari internet, dan kepala sekolah telah mengirimkan email ke seluruh orang tua, mengecam keras segala bentuk perundungan dan penyebaran rumor, dengan penekanan pada pentingnya lingkungan sekolah yang inklusif dan saling menghormati. ​Alya tidak merasakan kemenangan yang sombong. Ia hanya merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia berjalan melewati lobi sekolah dengan kepala tegak, menggandeng tangan Bara, dan untuk per

​Malam itu, Alya tidak tidur. Ia duduk di sofa ruang keluarga yang gelap, dalam keheningan total, hanya ditemani oleh cahaya remang dari lampu taman di luar. Ponselnya tergeletak di atas meja kopi di hadapannya, layarnya menampilkan tangkapan layar dari Instagram Story itu—sebuah bukti digital pengkhianatan yang terasa begitu tajam.​Setiap menit penantian terasa seperti satu jam. Ia mendengar suara mobil Arka memasuki halaman, lalu suara pintu depan yang terbuka dan tertutup dengan pelan. Beberapa saat kemudian, Arka melangkah masuk ke ruang keluarga, mungkin mengira Alya sudah tidur. Ia terkejut melihat istrinya duduk di sana dalam kegelapan.​“Sayang, kok belum tidur?” sapa Arka, suaranya terdengar lelah namun ada nada lega di dalamnya. “Maaf aku terlambat sekali, pertemuannya alot.”​Alya tidak menjawab. Ia hanya menatap suaminya dengan sorot mata yang kosong dan tak terbaca.​“Duduk, Mas,” katanya, suaranya b

​Hari-hari berikutnya di rumah mewah itu terasa seperti musim dingin yang panjang. Alya dan Arka bergerak di sekitar satu sama lain seperti dua orang asing yang menghuni planet yang berbeda. Alya mencurahkan seluruh energinya untuk Bara. Ia menciptakan sebuah gelembung kecil yang penuh tawa dan kehangatan untuk putranya, sebuah benteng pertahanan dari keheningan dingin yang menyelimuti sisa rumah itu.​Arka, di sisinya, tampak seperti hantu. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di kantor. Saat di rumah, ia mencoba. Ia akan duduk di ruang keluarga saat Alya dan Bara bermain, tidak ikut campur, hanya menonton dari jauh dengan tatapan penuh kerinduan. Ia akan menanyakan hal-hal sepele saat makan malam, yang hanya dijawab Alya seperlunya. Setiap usahanya untuk terhubung ditolak oleh dinding kesopanan Alya yang tak tertembus.​Alya sendiri merasa tersiksa oleh permainannya sendiri. Ia merindukan suaminya. Ia merindukan partnernya, sekutunya. Ia merindukan kehangatan pelukan A

​Perjalanan pulang dari sekolah terasa sunyi. Bara, yang lelah setelah seharian beraktivitas, tertidur di kursi belakang. Alya menyetir dalam diam, pikirannya berpacu lebih kencang dari laju mobilnya. Kartu nama Seraphina yang tergeletak di kursi penumpang terasa seperti sebuah bom waktu kecil yang siap meledak.​Tawaran pekerjaan itu terus berputar di kepalanya. Sebuah pekerjaan yang terhormat. Gaji yang akan memberinya kemerdekaan finansial. Kesempatan untuk membangun kembali identitas profesionalnya. Itu adalah semua yang ia inginkan. Tapi jalan menuju ke sana harus melewati Seraphina, rival sekaligus wanita dari masa lalu suaminya. Sebuah ironi yang begitu kejam.​Saat ia tiba di rumah, Arka sudah pulang. Ia sedang duduk di ruang keluarga, laptopnya terbuka, namun tatapannya kosong, jelas sedang menunggu Alya dengan cemas. Saat Alya masuk, Arka langsung berdiri.​“Sayang, ada apa? Wajahmu pucat sekali,” katanya, nadanya penuh kekhawatiran.

​Alya menatap wajah Arka yang sabar dan penuh penantian. Kepercayaan yang suaminya berikan terasa seperti angin yang mendorong layarnya, memberinya keberanian untuk berlayar ke lautan yang tidak ia kenal. Ia sudah lelah merasa takut. Ia sudah lelah merasa bergantung. Nasihat Nindya yang pragmatis dan dukungan tulus Arka bertemu di satu titik di dalam hatinya, membentuk sebuah keputusan yang solid.​Ia menarik napas dalam-dalam.​“Aku akan mengambil pekerjaan itu.”​Alya memperhatikan wajah suaminya dengan saksama saat ia mengucapkan kalimat itu. Tidak ada kemarahan. Tidak ada kekecewaan. Ia hanya melihat Arka mengangguk pelan, sebuah ekspresi yang rumit di matanya—campuran antara kebanggaan yang tulus atas keberanian istrinya, dan kekhawatiran yang mendalam akan jalan yang akan istrinya itu tempuh.​Keesokan paginya, suasana di rumah terasa berbeda. Ada sebuah energi baru, sebuah antisipasi. Sambil duduk di teras dengan secangkir kopi, A