Semua Bab Pesona Berbahaya Suami Dadakanku: Bab 161 - Bab 170

“Menurutmu bagaimana, Sherin? Sherin?!” Suara Beatrice menyentakkan Sherin keluar dari lamunannya. Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, gadis itu baru menyadari bahwa Arnold telah menggendongnya masuk ke dalam ruang utama kediaman itu. Tatapan gadis itu berkeliling dengan cepat, menelusuri langit-langit tinggi dengan lampu kristal mewah yang tergantung di tengah ruangan. Cahaya hangat dari lampu itu memantul di permadani merah tua di bawah kaki Arnold, dan menyapu lembut dinding yang dihiasi deretan lukisan klasik berbingkai emas. Kemewahan itu kembali menyita perhatiannya, tetapi Sherin tidak dapat mengaguminya lebih lama karena Beatrice masih menunggu tanggapannya. “Ma-maaf, Tante. Ta-tadi Tante bilang apa?” cicit Sherin, menoleh ke arah wanita itu dengan wajah penuh sesal. Namun, Beatrice tetap tersenyum hangat, lalu berkata dengan nada yang lembut, “Tante bilang, mumpung kamu masih muda, akan lebih baik kalau kalian mulai memikirkan soal anak." "A-anak?" She

“Ehem!”Dehaman berat yang keluar dari bibir Arnold sontak memecah kekaguman Sherin terhadap dekorasi kamarnya. Gadis itu refleks menoleh, dan baru menyadari bahwa ia masih berada dalam gendongan pria itu.Sherin mengerjap cepat saat merasakan ketegangan bahu Arnold di bawah lengannya yang masih melingkari leher pria itu. Seketika, rasa bersalah menyelusup di dadanya. “Ma-maaf… apa aku berat?” gumamnya lirih.Arnold meliriknya sekilas tanpa menghentikan langkahnya. “Syukurlah kalau kamu sadar. Aku pikir kamu mati rasa,” ujar pria itu datar.Mata Sherin lantas membelalak. Ia baru saja membuka mulut, ingin mengajukan protesnya. Namun, sebelum sempat berkata apa pun, pria itu sudah berjongkok dan perlahan menurunkannya hati-hati di atas sofabed berbentuk letter L di ujung ranjang. Lalu, tanpa menunggu reaksi darinya, pria itu segera bangkit, berbalik dan meninggalkannya dalam diam.Sherin menatap punggung Arnold yang menjauh sambil menggigit bibir bawahnya. ‘Sepertinya … dia marah,’ gumam

Keheningan di dalam kamar itu membuat ketegangan terasa semakin pekat di udara. Suara air di dalam baskom menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar ketika Arnold kembali membersihkan kaki Sherin dengan gerakan hati-hati dan penuh kesabaran.Ini bukan pertama kalinya melihat Arnold bersikap selembut ini, tetapi tetap saja Sherin merasa sangat tidak terbiasa.Bohong jika ia bilang tidak tersentuh oleh perlakuan dan perhatian lembut pria itu, tetapi dinding yang begitu kokoh berusaha membatasi dirinya, mengingatkannya untuk teguh dengan pendiriannya.Sherin menggigit bibir bawahnya, mencoba mengabaikan detak jantung yang berdentum tak beraturan. Aroma maskulin dari tubuh Arnold perlahan memenuhi udara, membuatnya semakin sulit berpura-pura tenang. Tanpa sadar, ia malah berdeham kecil.Arnold sontak mengangkat wajahnya. Tatapan biru pria itu membuat Sherin panik dan buru-buru membuang pandangannya ke arah lain.Kening Arnold mengerut halus. Namun, seulas senyuman samar pun muncul di bibirn

Kerutan di dahi Sherin semakin dalam. Matanya menatap Arnold dengan tajam. “Arnold, apa kamu salah makan hari ini?”Alih-alih menjawab, Arnold malah balik menatapnya. "Kamu belum jawab pertanyaanku, Sherin,” desaknya dengan nada datar, tetapi penuh penekanan.Sementara, gadis itu menarik napas panjang, mencoba bersabar menghadapi situasi yang menyudutkannya itu. "Kenapa aku harus menjawabmu? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri masalah pribadi masing-masing?”Arnold menaikkan satu alisnya. Raut wajahnya terlihat tenang seperti permukaan air yang tak beriak. “Aku tidak ingat ada kesepakatan seperti itu,” balasnya dengan nada acuh tak acuh.Sontak, Sherin membelalak. “Ka-kamu masih mau mengelak? Dasar curang!” sergahnya dengan suara bergetar karena emosi.Arnold tersenyum tipis. Tatapan matanya berubah tajam sekaligus menggoda. “Aku rasa kamu yang curang, Kucing Nakal. Apa susahnya menjawab iya dan tidak? Jangan bilang kalau kamu memang─”“Tidak!” potong Sherin dengan cepa

Gretta masih terdiam. Ia tampak meragukan jawaban Sherin, tetapi mendengar gadis itu tidak ingin memperpanjang persoalan, ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti keinginannya. “Baiklah, Nona," ucapnya dengan nada pasrah, tetapi tetap dengan penuh etika.Masih dengan sikap penuh hormat, Gretta menoleh kepada kedua pelayan tersebut dan melanjutkan, "Tapi, sebelumnya saya perkenalkan dulu. Mereka adalah pelayan pribadi yang ditugaskan khusus untuk melayani Anda dan bertanggung jawab di lantai ini."Gretta menoleh sekilas ke arah kedua pelayan di sisinya. “Perkenalkan diri kalian.”Pelayan yang bertubuh ramping dan berwajah tenang dan terlihat berpengalaman itu maju selangkah, lalu menunduk sopan. “Saya Lyra, Nona. Mulai hari ini, saya akan melayani Anda dengan sepenuh hati. Jika Anda membutuhkan sesuatu, jangan sungkan memanggil saya."Lalu, disusul rekannya yang memiliki porsi tubuh lebih berisi dan memiliki wajah lebih polos. “Sa-saya Marylin. Anda bisa memanggil saya Mary saja