All Chapters of Sentuh Aku Seperti Kau Milikku: Chapter 41 - Chapter 50

Seorang pria bertubuh dewasa, kira-kira berusia empat puluhan, duduk memeluk boneka kelinci. Ia tersenyum lebar ketika melihat Leah. “Nona Cahaya datang!” serunya, menepuk-nepuk lantai di sebelahnya.Leah tertawa, mengampiri lelaki itu dan berlutut disebelahnya “Hari ini aku bawa kue. Tapi kau harus sabar sampai kita potong bersama, ya?”Pria itu mengangguk cepat, lalu kembali bermain dengan bonekanya. “Nona cahaya kenapa jarang datang?” Dia bertanya pelan“Maaf ya aku memiliki beberapa urusan dan baru bisa datang sekarang” Jawab LeahValesco berdiri di ambang pintu ruang utama, kotak kue masih di tangannya. Wajahnya… sulit dibaca. Tidak ada jijik, tidak ada takut, tapi juga tidak ada kehangatan yang biasanya menyertai interaksi seperti ini. Yang ada hanya keheningan tajam dan sorot mata yang penuh tanya.Leah melirik lalu berdiri dan berjalan mendekati suaminya itu. “Kau baik-baik saja?&

Tak lama setelah kejadian itu, mereka kembali masuk ke ruang utama.Leah mengajak Valesco duduk di lantai, di antara anak-anak dan orang dewasa dengan berbagai kondisi. Rey duduk tak jauh dari mereka, menggambar mobil dan pesawat di atas kertas lecek. Seorang wanita tua memeluk bantal dan bersenandung sendiri, sementara dua pria lain saling tertawa melihat mainan robot.Valesco, yang duduk di samping Leah, tampak kaku di awal. Tapi saat salah satu anak perempuan kecil dengan pita biru menghampirinya dan menyodorkan gambar bunga berwarna-warni, ia menerima kertas itu perlahan.“Itu buat Om” kata gadis kecil itu malu-malu.Valesco menerimanya dan menatao gambar bunga itu. Warna warni yang tak menyatu namun justru membuatnya terasa hidup. Biru di atas merah, kuning di samping hitam, garis hijau yang keluar dari kelopak, semua serampangan… tapi jujur.Valesco menatap gambar itu lama, seakan-akan sedang membaca sesuatu yang hanya ia d

Sudah hampir tiga jam lamanya Leah duduk di halte bus dengan mata yang menatap lurus kedepan. Angin mulai berubah arah, mengangkat debu-debu halus dari jalanan dan membuat matanya perih.“Sialnya aku..” Gumam Leah memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya terasa mengigil namun pandangannya tetap tenang. Tenang dengan cara yang dingin, bukan karena damai, tapi karena sudah terlalu lelah untuk bereaksi.Leah bahkan sempat menghitung empat bus yang berhenti, namun ia tak bisa naik karena tak satu pun dari bus itu yang mengambil rute menuju Columbus, rumah Valesco.Dalam hati Leah sedikit berharap jika Valesco akan kembali dan menjemputnya namun selama 3 jam menunggu, tak satu kalipun mobil mewah Valesco terlihat.Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Matahari mulai bergeser, membuat bayangan halte semakin panjang. Langit menggurat jingga pucat, tanda hari akan segera turun.Lalu…Suara mobil berhenti di depan halte

Sepanjang perjalanan menuju Columbus, kepala Leah terasa sakit. Bukan karena lelah semata, tapi karena pikirannya terus berputar.Fakta mengenai keluarga Arden sudah cukup membuatnya kaget. Fakta pahit bahwa Valesco dan Vincent tumbuh dengan ibu yang berbeda, di bawah bayang-bayang lelaki yang sama: Kenneth Arden.Leah duduk dalam diam, memandangi jalanan malam yang dilalui mobil dengan kecepatan sedang. Lampu-lampu jalan seperti kilatan-kilatan ingatan, menyapu satu demi satu kenangan yang kembali bermunculan.Ia merasa seperti menarik benang kusut yang tak kunjung selesai, semakin ditarik, semakin terasa sesak. Dalam benaknya muncul pertanyaan: sebenarnya bagaimana kehidupan di keluarga Arden itu?Saat mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar Valesco Arden di Columbus, langit sudah sangat gelap sepenuhnya. Cahaya lampu dari dalam rumah memancar sayup, namun anehnya tidak ada penjaga di luar. Tidak seperti biasanya.Leah turun perlahan, sempat

“Dia bersedia. Siapkan jadwalnya lusa”Suara Leah terdengar tegas namun tetap lembut saat ia menurunkan ponselnya dari telinga. Ia berdiri di depan jendela kamar mereka, udara malam menerpa rambutnya yang tergerai hingga tiba-tiba Valesco memeluknya dari belakangLeah mengusap lengan Valesco yang melingkar pada pinggangnya“Namanya Nadine” ucap Leah, mendekat dan menyentuh tangan Valesco. “Psikiater. Mitra kerjaku sewaktu aku masih aktif mengajar. Nadine bukan tipe yang menekan pasien. Dia pendengar yang baik… dan dia tidak akan menilaimu.”Valesco menelan ludah perlahan. “Kau yakin… aku perlu itu?”“Kau tahu jawabannya” bisik Leah sambil menautkan jemari mereka.Valesco menghela napas panjang, matanya menatap lantai. “Apa aku gila, Leah?”“Tidak” jawab Leah cepat, suaranya sedikit bergetar, tapi yakin. “Kau hanya... pernah terlalu