All Chapters of PELAN PELAN SAYANG: Chapter 331 - Chapter 340

Darah mengalir deras tanpa henti dari pergelangan kaki Gunawan. “Itu nggak seberapa dibanding sakitnya seseorang yang berpikir kalau dia dicintai... ternyata cuma dijadikan permainan,” ucap Rain dengan nada penuh dendam. Ia menginjak kaki Gunawan keras-keras, berkali-kali, hingga terdengar suara retakan tulang yang membuat udara di ruangan terasa membeku. “Cukup...” lirih Gunawan memohon, suaranya parau dan nyaris tak terdengar. “Cukup?” Rain menyeringai. “Iya, cukup buat satu kaki. Karena yang lain juga butuh siksaan.” Tanpa memberi waktu, Rain menendang tubuh Gunawan dengan brutal. Tubuh Gunawan terguling, menabrak meja kecil hingga pecahan kaca berserakan di lantai. Ia menjerit kesakitan, napasnya tersengal, wajahnya penuh darah dan keringat dingin. “Huft...” desis Rain sambil tertawa kecil, napasnya berat menahan emosi. Ia menyeka keringat di pelipis, lalu duduk di sofa dengan posisi santai, kaki berselonjor, menatap Gunawan yang kini hanya bisa menggeliat di lantai sepe

“Kok belum pulang sih? Duh…” Gendis malam itu terbangun dari tidurnya, terkejut saat mendapati sisi ranjang Rain masih kosong. Ia mengusap perutnya perlahan, lalu segera meraih ponsel di nakas dan menghubungi suaminya. “Ya, Sayang?” sahut Rain. Suaranya terdengar sangat tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menghilangkan nyawa orang lain. “Kok belum pulang sih? Udah malam begini… udah mau jam dua, Sayang,” ucap Gendis dengan nada khawatir. “Sebentar lagi, nanti pulang kok,” jawab Rain datar. “Nggak, pokoknya sekarang!” tegas Gendis, nada suaranya naik setengah oktaf. “Iya, iya, iya, Sayang… sekarang,” ucap Rain cepat, terdengar gugup. Namun bukan karena rasa bersalah—melainkan karena Angga di sebelahnya menahan tawa geli sambil memasukkan beberapa potong tubuh ke dalam bunker baja di bawah dapur itu. “Buruan!” tegas Gendis sekali lagi sebelum menutup panggilan dengan nada kesal. Rain menarik napas panjang, berusaha mengatur detak jantungnya yang masih be

“Artinya, kalau orang ini dari komplotan yang sama, berarti dia juga anggota polisi?” ucap polwan itu dengan suara bergetar. Tatapannya tajam, tapi jelas ada ketakutan di balik sorot matanya. “Gila! Maksud kamu, pelaku berarti terhubung dengan Pak Ibnu?” tanya polisi itu cepat, nadanya meninggi, seolah tak percaya pada apa yang baru ia dengar. “Pak Ibnu? Komandan Ibnu maksud kamu?” tanya polwan itu lagi, kali ini nadanya lebih tegas, tapi wajahnya mulai memucat. “Astaga! Kamu nggak tahu, ya? Desas-desusnya, mereka yang dipecat tidak hormat dan dipenjara atas kasus penembakan itu... mereka semua mengaku dikerahkan oleh Pak Ibnu!” ucap polisi itu geram, rahangnya menegang menahan amarah. “Wah... artinya kalau kita berhasil nangkap pelaku ini, dia bisa jadi kunci buat nemuin Pak Ibnu?” ucap polwan itu, kini suaranya terdengar lebih tegas dan penuh antusias. “Nah! Itu maksudku. Aku pikir, gimana kalau kita ambil alih kasus ini lebih dulu? Ini kasus besar,” ucap polisi itu dengan

“Sayang, aku mau kamu selalu hati-hati bertindak. Aku nggak mau kehilangan kamu,” ucap Gendis pelan, menatap Rain dengan mata yang penuh kekhawatiran. Rain tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan istrinya. “Saya selalu hati-hati, Sayang. Karena tujuan saya itu kamu dan anak kita. Jadi saya harus sampai sama tujuan hidup saya,” ujarnya lembut, tapi matanya menyiratkan tekad yang keras. “Tapi... apa pelakunya ini ada kaitannya sama Ibnu? Kamu belum dapet informasi orang itu? Bahkan Om Kevin aja belum kasih kabar, kan?” bisik Gendis dengan nada hati-hati, sesekali melirik ke arah Wanda yang masih terbaring lemah di ranjang. Rain menarik napas dalam, lalu menatap istrinya dengan pandangan tajam. “Kamu pinter, Sayang. Orang ini, secara nggak sengaja, dia terhubung sama Ibnu. Kamu tahu... di akhir nyawanya, dia sempat bilang kalau dia tahu di mana Ibnu. Mungkin dia mikir kalau dengan kasih info itu ke saya dan Angga, dia bisa selamat. Tapi nyatanya, saya habisi dia... karena saya ngga

“Rain, semua butuh proses. Bukan perkara mudah menangkap pelaku,” ucap Kevin dengan nada sabar, meski terlihat jelas gurat frustrasi di wajahnya. “Itu masalah Om sendiri,” balas Rain cepat, nada suaranya dingin dan tajam. “Kalau di tangan saya, nggak ada yang sulit. Semua bisa beres tanpa harus heboh satu kompi dan bikin konferensi pers terus-terusan di depan publik cuma biar keliatan kerja.” Kevin menarik napas panjang, dadanya naik-turun menahan amarah yang mulai mendesak keluar. Ia tahu ucapan keponakannya kasar... tapi sialnya, ada benarnya juga. “Kali ini,” ucap Kevin pelan namun tegas, menatap layar ponselnya seolah bicara langsung pada Rain, “izinkan Om buktiin ke kamu... kalau Ibnu bisa Om bawa ke publik.” Tanpa basa-basi, Rain menekan tombol end call. Ponsel di tangannya langsung mati. Ia berdiri, menatap sekilas pantulan dirinya di kaca ruang tunggu, lalu berjalan kembali masuk ke kamar Wanda—tenang di luar, tapi matanya menyimpan badai yang belum reda. “Sayang, m