Lahat ng Kabanata ng Terpaksa Menikahi Sopir Bapak: Kabanata 11 - Kabanata 20

Sudah tiga hari ini, aku mendadak harus mengikuti diklat manajemen di hotel Merah Putih Jakarta. Sebuah pelatihan yang memang diperuntukkan bagi calon kepala sekolah, karena Bu widya, kepala sekolahku, akan memasuki usia pensiun sebentar lagi. Dan hari ini adalah hari terakhir pelatihan. Aku sudah gusar sejak pagi tadi. Tak sabar rasanya cepat-cepat pulang ke Madiun, dan entah mengapa, hari ini berlalu begitu panjang dan melelahkan. Berkali-kali kurapikan blazer abu-abu sambil terus mencoba untuk fokus. Sesekali, aku menyesap kopi yang entah sudah berapa kali aku isi. Jeda pelatihan, aku ijin untuk ke toilet. Meluruskan badan dan mata yang tak bisa lagi dikondisikan. Melewati lorong hotel yang mewah tapi sepi, dan hanya bertemu beberapa staf hotel yang lalu lalang dengan tugasnya. Sesaat mataku menangkap wanita cantik dengan rambut bergelombang keluar dari kamar hotel bersama lelaki. Tangannya menggamit erat lengan sang lelaki yang kadang mencium keningnya hangat. Aku terpaksa b

"Safira?" Ibu menyentuh dahiku. "Ya Allah, panas sekali. Kamu kesambet di mana?" Ibu segera menyusulku ke kamar setelah tahu aku pulang dan tak keluar hingga sore menjelang. "Dih, ibu!" Aku kembali bergelung dengan selimutku. "Tapi kamu memang panas, Safira. Ayo periksa aja!" Ibu kembali menyentuh dahiku. "Atau mau pijat aja? Kamu kan capek habis diklat?" "Gak papa, Bu. Nanti juga sembuh buat tidur!" Alasanku. "Beneran ya. kamu gak papa?" Aku beringsut bangun dan bersandar di pundak ibu. "Bu, aku demam bukan karena capek. Bukan karena kesambet. Tapi karena kaget!" Kataku lirih. Ibu menatapku tajam. "Kenapa?" Ibu ikut berbisik di telingaku. Perlahan, aku mengambil tas ransel yang teegeletak di sisi ranjang lalu mengeluarkan sesuatu. "Apa ini? Kartu Debit? Kenapa?" Ibu melihatku bingung. "Dari Fatih!" "APA?" "Sssttt!" Telunjuk kuarahkan ke bibir ibu. "Jangan keras-keras!" Mataku menatap ke pintu. Ibu mengangguk lalu kembali bertanya. "Fatih pulang?"

Sore mulai menjelang saat aku mengarahkan mobil menuju proyek pembangunan perpustakaan desa. Pagi tadi, Fafih memintaku membawa mobil ke sekolah dan menurunkannya di di sisi jalan. Aku segera turun dari mobil setelah memarkirkan mobil di sisi barat area proyek. "Oh, Mas Fatih. Ada di sana Mbak. Lagi meeting sama tim di lapangan!" Alisku berkerut saat mendengar jawaban Satpam. Meeting sama tim? Bukannya Fatih bilang dia cuma kerja rendahan, meskipun memang bukan kuli. "Meeting sama tim?" Ulangku. "Iya, Mbak. Cari aja di sana, gak papa!" Akhirnya aku tersenyum dan melangkah meninggalkan pos satpam. Benar saja, dari jauh aku melihat sosok Fatih yang sedang berdiri dengan beberapa orang yang memakai helm kuning. Langkahku mantap menyusuri jalanan tanah yang keras, menapaki satu demi satu petak kerja yang ramai oleh para pekerja berseragam. Beberapa orang sedang berkumpul tak jauh di sisi kanan. Mereka tertawa kecil, ada yang mencatat di tablet, ada yang berdiskusi serius.

Dua minggu berlalu. Desa penuh kegiatan yang membuat warga jadi sibuk. Tidak hanya proyek perpustakaan desa tapi juga proyek pembangunan jalan. Tak ada yang terlewat, semua jalan lebar dan beraspal. Suara alat berat menggema bersahutan daei sudut ke sudut. Menyulap jalan-jalan yang dulu hanya berupa tanah becek saat hujan, kini telah disulap menjadi lebar dan beraspal rapi. “Hebat, ya. Desa kita cepat banget berubah,” ujar Elena yang baru datang masuk kantor dan kini duduk di sebelah tempatku. “Iya. Perpustakaan, jalan, taman baca anak... semua kayak dikerjain serempak. Nggak main-main anggarannya. Pasti dananya besar,” timpal Pak Yudi Guru Olah Raga sambil mengaduk kopi. Aku hanya mengangguk kecil, setengah mendengarkan, setengah mengemasi buku-buku pelajaran. Dalam hati aku juga kagum. Tapi aku tak terlalu ambil pusing. Aku pikir ini semua kerja sama antara desa dan program pemerintah yang di danai Fath Company. Kantor yang semula sepi karena jam mengajar, kini jadi ramai ka

Sejak hari kejadian penculikan iseng yang Fatih lakukan, hubunganku dengan Fatih terasa lebih… ringan. Tidak lagi canggung. Meski kami tak membahas kejadian itu lagi. Fatih semakin menunjukkan perhatiannya dan aku.. jadi semakin suka! Astaga. Hubunganku dan Fatih memang masih jauh dari definisi suami istri yang sesungguhnya, tapi aku sudah mulai terbuka. Mungkin saja karena aku sudah lelah menjaga jarak, atau mungkin karena pelan-pelan... aku mulai merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu tak pernah berlangsung lama. Hari itu, saat sekolah sedang mengadakan evaluasi tengah semester. Aku baru saja keluar dari ruang guru ketika seorang siswa—Laras, siswi kelas 12 IPA—berlari ke arahku dengan wajah panik. “Bu... Bu Safira!” napasnya tersengal. “Saya… saya mau izin ke ruang BK dulu. Teman saya... Nia, nangis terus dari tadi. Katanya, dia diputusin pacarnya.” Aku hanya mengangguk dan mengizinkan. Nia memang termasuk siswi yang sensitif. Tapi saat Laras berjalan