Semua Bab Jangan Pegang, Coach: Bab 21 - Bab 30

Dua minggu kemudian, Mey sadar kalau dunia nyata nggak selalu sejalan sama ending bahagia di kepalanya.Masalah pertama datang dari pengacara.“Perzinahan itu bikin semuanya lebih ribet,” kata Pak Hendro, pengacara perceraian yang dia hire, dengan nada blak-blakan yang bikin nggak nyaman.“Apalagi kalau ada buktinya.”“Bukti kayak apa?”“Foto, saksi, catatan keuangan,tagihan hotel, hadiah…”“Tagihan hotel nggak ada. Kita nggak pernah...” Mey berhenti.Oke, pernah sekali. Waktu gym direnovasi dan Rafael nyewa kamar hotel buat sesi siang.Damn.“Nyonya Mey, saya perlu full honestly di sini. Ada nggak transaksi yang could be interpreted as… mendukung perselingkuhan?”“Entahlah. Maybe. Kadang aku bayar lunch-nya, kopi…”“Pakai kartu kredit?”“Kadang.”“Rekeningnya joint sama suami?”“Ya.”Pak Hendro langsung nulis sesuatu di notepad.“Ini bisa jadi masalah. Perseli

Kamar hotel di Kemang rasanya kayak purgatory.Bukan heaven, jelas bukan hell, cuma… limbo.Dinding putih steril, furnitur standar hotel, view parkiran. Persis kayak kondisi hati Mey,stuck di antara dua hidup, dan nggak punya keduanya.Udah tiga hari dia di situ, hidup dari room service, nonton TV yang bahkan nggak seru, dan sengaja nge-ignore semua panggilan dari Nina, Lisa, apalagi Rafael.HP-nya nggak berhenti bunyi. Chat Rafael berubah dari khawatir → terluka → marah → pasrah:Hari ke-1: “Kamu baik-baik aja? Cuma mau pastiin kamu aman.”Hari ke-2: “Aku ngerti kamu butuh space. Take your time.”Hari ke-3: “Aku di sini kalau kamu udah siap ngomong.”Hari ke-4: “Aku cinta kamu. Itu nggak berubah.”Hari ke-5: Nggak ada pesan.Dan justru silence itu yang paling nyakitin.Hari ke-6, muncul notif lain. Nama yang berbeda. Dimas."Kudengar kamu lagi stay di hotel. Mau ngobrol?"Gimana dia bisa tau? Mun

Dua bulan setelah balikan, Mey dan Rafael mulai nemuin ritme yang pas.Bukan lagi masa bulan madu yang meledak-ledak kayak dulu, tapi stabil. Tenang. Nggak bikin lelah, tapi tetap ada nyalanya.Mereka udah mulai ngerti cara hidup bareng tanpa saling makan hati.Rafael yang super rapih bikin “zona bebas Mey” di rumah: pojok meja dapur buat cangkir kopi, kursi di kamar buat baju yang belum cukup kotor buat dicuci, dan rak khusus buat buku-buku Mey yang sering digeletakin sembarangan.Mey yang otaknya suka overthinking sekarang nggak diem aja kalau lagi ada yang ganjel. Dia ngomong. Kadang bikin Rafael garuk-garuk kepala, tapi selalu bikin mereka nemu titik temu.Pagi itu, sambil sarapan, Mey nyeletuk,“Aku agak khawatir sama Kevin.”“Kevin yang pelatih atau Kevin yang anggota?”“Kevin yang pelatih. Dia suka komentar soal kita.”“Komentar gimana?”“Dia tanya kemarin… katanya, aku ini ‘investasi yang bagus’ dan ‘

Pagi terakhir di Jakarta dimulai… berantakan. Alarm nggak bunyi. HP Rafael mati entah sejak jam berapa, dan alarm cadangan Mey malah ke-set di jam yang salah. Mereka kebangun alami jam 7 pagi — padahal penjemputan ke bandara dijadwalkan jam 8. “Sial, sial, sial!” Mey langsung loncat dari kasur, dan sukses nyandung koper di lantai. “Breathe,” kata Rafael, udah bergerak lincah kayak nggak baru bangun. “Kita mandi bareng, save time. Aku call driver buat mundurin pick-up time.” “Kalau dia nggak bisa mundurin?” “Ya udah, kita naik taksi. Problem solved.” “Tapi jadwal...” “To hell with schedule. Kita punya tiga jam sebelum boarding. We’re fine.” Entah kenapa, calm-nya Rafael bikin panik Mey pelan-pelan turun. Benar juga — pesawat nggak akan terbang dalam 20 menit ke depan. Masih ada waktu. Mandi bareng awalnya cuma niat praktis, tapi nyatanya… jadi hal yang totally different. “Kita bisa telat, you know,” protes Mey waktu tangan Rafael mulai “nyasar-nyasar.” “Kita punya

Bulan kedua di Singapura, semuanya langsung kacau.Dan semuanya mulai dari Rafael.Dia lagi nge-train klien di area Marina Bay—pengusaha lokal, duitnya banyak, bayarnya juga cash tiap sesi. Udah tiga minggu aman-aman aja.Sampai pagi itu, tiba-tiba petugas imigrasi nongol.“Random check, katanya,” Rafael cerita lewat telepon. Suaranya kaku, kayak lagi nahan panik. “Mereka minta semua trainer nunjukin work permit.”Mey langsung tegak. “Terus kamu?”“Aku kena warning resmi. Kalau ketahuan kerja lagi tanpa visa, next step-nya deportasi.”“Deportasi?”“Dan banned lima tahun.”Dunia Mey kayak diputerin. “Kamu oke? Kamu di mana sekarang?”“Aku udah balik apartemen. Aman. Tapi, Mey… aku nggak bisa kerja lagi. Nggak ada cara sampai visanya keluar.”“Terus kapan keluarnya?”“Lawyer bilang paling cepat dua bulan. Bisa juga lebih lama.”Dua bulan tanpa income. Tabungan mereka yang ud