Lahat ng Kabanata ng Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh: Kabanata 131 - Kabanata 140

“Mau apa lagi kamu ke sini?” tanya pak Hendra.Lelaki yang ada di teras rumah Tari berdiri, mengulurkan tangan hendak mengajak bu Ijah dan pak Hendra bersalaman. Namun, apa yang terjadi? Mereka berdua menepis tangan lelaki itu.“Saya ke sini ingin membicarakan sesuatu perihal Tari. Tolong, dengarkan aku dulu!” Lelaki itu mengatupkan kedua tangan di depan dada.“Rama, sudah pernah kami katakan sama kamu, Tari tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan denganmu. Kalian tidak cocok, bahkan seujung kuku pun, kamu tidak ada pantas-pantasnya untuk Tari. Bahkan Tari sama sekali tidak mencintai kamu. Jadi apa lagi yang mau kamu bicarakan?” tanya bu Ijah.Lelaki yang bernama Rama itu menghela napas panjang. Berdiri tertunduk, sama sekali tidak ditawari untuk masuk ke dalam, apalagi ditawari minum.“Lagi pula, Tari sudah menikah. Tentu saja suaminya lebih segalanya darimu. Mereka saling mencintai, mereka telah hidup bahagia. Seharusnya kamu sadar diri, Rama. Jangan terus menerus mengejar Tari,”

“Kau lihat, Mas?” tanya Asri.“Ya … aku melihatnya. Yang dikatakan oma dan Nabila benar. Kita telah ditipu oleh wanita itu,” jawab Ello.Gala pun datang, Ello segera menjelaskan apa yang harus dilakukan.“Lu lihat ini, Lo!” seru Gala.Ello, Asri dan Nabila fokus menatap layar laptop. Di sana, tepatnya di ruangan dapur, seseorang tengah berdiri sambil menggesek-gesekkan sebuah benda tajam ke arah tembok.“Coba perbesar lagi!” ucap Ello.Gala memperbesar gambarnya. Hening, tak ada suara, mereka menatap seseorang itu dengan seksama.“Mas, i-ini kan satpam di rumah ini,” cetus Asri.Ello membeliak, mendengar ucapan Asri. Ditatapnya lagi dan lagi, demi memastikan dugaan Asri benar.“Ya, kau benar, Sayang. Di rekaman ini oma sedang mengambil air, bertepatan dengan itu, satpam sedang menggesek pisau di tembok tapi beda ruangan. Apa maksudnya coba? Waktunya juga menunjukkan tengah malam. Lihat oma, seperti ketakutan,” sahut Ello.Gala menjentikkan kedua jarinya.“Dia bisa kita interogasi. Kit

Waktu cepat berlalu, kini tahun telah berganti. Di tempat baru, suasana baru dan lingkungan yang baru. Hari yang cerah dengan kicauan burung di dalam sangkar. Menambah indahnya pagi hari itu.“Nak, jangan lari-lari nanti jatuh! Sini makan buahnya!”Rain yang telah menginjak usia 2 tahun, berlari-lari di halaman rumah sambil memainkan pesawat mainan barunya. Mainan itu merupakan hadiah ulang tahun pemberian Ello.“Mama, pesawatnya bisa terbang!” seru Rain, dengan logat cadel.“Jangan lari-lari, Nak. Ini buahnya kasihan, loh kalau nggak dimakan. Nanti buahnya nangis, loh! Ayok sini!”Rain pun menurut, tak lagi berlarian. Dengan lahapnya ia menyantap buah naga kesukaannya.“Mama, Papa ke mana? Aku mau jalan-jalan lagi sama kak Sandi dan kak Alora!” ujar Rain.“Nanti ya, Sayang. Papa lagi kerja, Kak Sandi kan sekolah. Nggak mungkin, kan, harus setiap hari jalan-jalan. Kak Alora juga nggak mungkin tiap hari jalan-jalan. Rain sama Mama dulu saja, ya, mainnya. Em … Rain mau main apa?” tanya

“Kamu kenapa, Sayang?” Ello yang baru saja keluar dari kamar mandi, berjalan cepat mendekati Asri.Asri menggelengkan kepala, sedikit memijat pelipisnya. “Tidak apa-apa, hanya sedikit pusing saja. Minum obat pasti baikan. Sudah siap?” tanya Asri.“Sudah, tapi … kalau kamu tidak enak badan, perginya bisa lain kali saja. Tidak apa-apa kamu istirahat saja,” jawab Ello.Asri menoleh ke arah Rain. Anak itu hanya menatap. Berharap jika keinginannya untuk pergi jalan-jalan bisa terkabul.“Tidak apa-apa, aku kuat kok. Kasihan Rain, dari tadi dia merengek terus minta jalan-jalan. Kalau sudah siap kita pergi sekarang saja!” ajak Asri.“Ya sudah!”Berada di dalam mobil, mereka tampak gembira sambil sesekali bercanda hingga tak ayal gelak tawa menghiasi di antara mereka bertiga.“Aku sama Yeyen mau makan ayam!” seru Rain.Asri dan Ello mengernyitkan dahinya. Melirik ke arah Rain yang tengah duduk di belakang bersama anak kucingnya.“Yeyen? Siapa dia?” tanya Ello.“Kucingku namanya Yeyen,” jawab

“Makan dulu, Dir! Kamu jangan menyiksa diri kamu. Biarlah, relakan semua yang telah hilang dari kita. Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Mau menyalahkan juga, sudah tiada arti. Kita hanya perlu bangkit dari keterpurukan ini,” ujar bu Tami.Di kota yang baru mereka injak, Dirga, bu Tami dan juga Ferdi tengah duduk di emperan toko. Tiga nasi bungkus berlaukkan tempe orek tergeletak begitu saja tanpa ingin menyentuhnya.“Ferdi, kamu juga harus makan. Kalau kalian tidak mau makan, lalu mau apa kita? Bagaimana dengan Ibu, jika kalian saja menyiksa diri kalian seperti ini? Apakah kalian sudah tidak menyayangi Ibu lagi?” lanjut bu Tami.Ferdi menghela napas kasar. Tubuh terbalut kaos oblong, kulit kecoklatan serta tubuh kurus. Berbanding terbalik dengan kehidupannya yang dulu. Begitu pun dengan Dirga. Penampilan elegan yang selalu ia tampilkan, kini telah sirna tergantikan oleh penampilan lusuh tak terawat.“Kita tidak akan seperti ini kalau Dirga tidak selingkuh dengan Debi,” cet