All Chapters of Tuan CEO Tak Lagi Mencintaiku: Chapter 21 - Chapter 30

Anne langsung tersentak dan tubuhnya kaku mendengar gertakan Samuel yang baru saja meledak dari bibirnya.Kata-kata kasar itu seolah-olah menampar wajahnya. Tak percaya jika pria yang selama ini dia perjuangkan mati-matian, pria yang dia cintai dengan seluruh jiwa dan raganya, kini berani meninggikan suara padanya dengan begitu kasar.Tanpa berkata sepatah pun, Anne hanya berdiri mematung dengan mata yang membelalak menatap Samuel yang masih mematung dengan rahang menegang.Ia menunggu … menunggu apakah suaminya akan meralat ucapannya, atau setidaknya menunjukkan penyesalan. Namun yang dia dapat hanyalah kebekuan. Sunyi.Air matanya kembali menetes. Ia buru-buru menyekanya karena tidak ingin Samuel melihat kelemahannya lagi.Anne memalingkan wajah dan menegakkan tubuh, lalu melangkah keluar dari kamar dengan cepat.Pintu ditutupnya tanpa suara, namun ketukan kecil itu sudah cukup membuat Samuel memejamkan mata erat-erat, seolah jarum menusuk dadanya.Anne menuruni tangga perlahan, lal

Begitu malam tiba, Anne mematut diri di depan cermin.Gaun sederhana berwarna biru pastel yang baru dibelikan Samuel terasa pas di tubuhnya, namun hatinya terasa berat.“Aku benar-benar tidak nyaman. Aku tidak mau jadi bahan pembicaraan mereka lagi, Samuel,” bisik Anne meski sudah mengenakan gaun yang diberikan oleh Samuel.“Kau harus datang. Jika aku datang, maka kau juga harus datang,” ucap Samuel dengan suara beratnya.Anne menarik napasnya dalam-dalam sembari keluar dari mobilnya dan berdiri di samping Samuel.“Ayo,” ucap Samuel kemudian.Anne masih ragu untuk masuk. Dia hanya menatap wajah suaminya dengan wajah was-was.“Jangan takut. Aku tidak akan membiarkanmu lagi jika Mama bicara soal anak,” ucapnya meyakinkan Anne agar mau masuk.Anne menatapnya tak percaya. “Ka-kau ....”Samuel tidak menjawab lagi, hanya menarik tangan Anne dan membawanya masuk ke dalam rumah ibunya itu.Begitu mereka masuk ke ruang makan yang luas dan mewah, aroma hidangan mahal menyambut mereka.Tyas suda

Setibanya di rumah, suasana di antara mereka bagai lautan yang tenang di permukaan namun bergolak di bawahnya.Anne membuka pintu tanpa sepatah kata pun, langkahnya cepat menuju ruang tamu. Sementara Samuel mengikuti dari belakang, wajahnya tegang namun tetap dingin seperti biasa.Anne memutar tubuhnya tiba-tiba dan memandang Samuel dengan mata yang berkilat. “Aku tahu, Sam. Aku tahu ibumu lebih senang jika menantunya adalah Jeane. Itu terlihat jelas dari cara dia memandangku malam ini. Dari setiap kata yang keluar dari bibirnya, seolah aku ini tidak pantas berada di sana.”Samuel menghela napas panjang lalu melepaskan jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi.“Anne, untuk apa kau memikirkannya? Aku tidak peduli dengan itu,” jawab Samuel dengan santainya.Anne tersenyum miris. “Tentu saja kau tidak peduli. Karena semua itu tidak diarahkan padamu. Tapi aku? Aku yang duduk di sana seperti boneka, jadi bulan-bulanan sindiran mereka, mendengarkan nama Jeane disebut seolah dia malaikat y

Ruang kerja Samuel siang itu terasa dingin. Lampu gantung memantulkan cahaya redup di meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan dokumen dan laptop yang masih menyala.Samuel duduk bersandar di kursinya, wajahnya serius ketika sekretarisnya masuk membawa kabar bahwa ada tamu yang ingin menemuinya.“Siapa?” tanyanya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Jeane, Tuan. Dia ingin bertemu dengan Anda, tapi tidak ada dalam daftar visit. Dia bilang ini penting,” jawab sang sekretaris, sedikit ragu.Samuel mendengus pelan begitu mendengar nama wanita itu. Dia kemudian menarik napas panjang, lalu berkata datar, “Biarkan dia masuk.”Tak lama kemudian, pintu terbuka dan sosok wanita berpenampilan anggun melangkah masuk.Gaun selutut berwarna krem yang ia kenakan tampak sempurna di tubuhnya yang ramping.Jeane, mantan kekasih yang dulu pernah mengisi sebagian besar hidup Samuel, kini berdiri di hadapannya dengan senyum profesional.“Samuel,” sapanya sambil meletakkan sebuah map tebal di m

Samuel duduk tegak di kursinya tengah menatap layar laptop yang menampilkan email dari James.Di waktu yang hampir bersamaan, sebuah pesan masuk di ponselnya—dari nomor yang sangat dikenalnya, ayah Jeane.Samuel menghela napas dalam-dalan menatap dengan wajah datar email masuk dari James beberapa menit yang lalu.Tangan kirinya menggenggam mouse, sementara tangan kanannya mengepal erat di atas meja.Sekretarisnya, Melinda, berdiri dengan tenang di depan meja tengah menunggu keputusan tuannya yang tampak begitu larut dalam pikiran.“Tuan Samuel … apakah saya harus menjadwalkan ulang meeting sore ini?” tanya Melinda penuh dengan kehati-hatian.Samuel tidak segera menjawab. Matanya tetap terpaku pada layar dan membaca ulang kalimat-kalimat dalam email James yang sarat dengan nada perintah terselubung.“Samuel, kita harus bertemu. Ada hal penting menyangkut masa depan perusahaan, juga masa depanmu. Lima sore, aku menunggu jawabanmu.”Sedangkan pesan singkat di ponselnya tak kalah menusuk.