Lahat ng Kabanata ng Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!: Kabanata 111 - Kabanata 120

"Siap!"Wajah Mario menegang, lalu dia berbalik dan segera pergi.Meskipun tidak banyak bertanya, dia sudah berlari secepat mungkin.Nona Shanaya pasti sedang dalam masalah.Jari-jari Bianca tiba-tiba mencengkeram telapak tangannya sendiri. "Pak Lucien, hanya karena Shanaya sebentar tidak bisa dihubungi, tidak perlu sampai begitu…"Sebelum kata-katanya selesai, tatapan mata elang Lucien sudah menyapu dirinya. Dingin, tajam, penuh tekanan mematikan. Membuat Bianca seketika bungkam seperti tersedak ketakutan.Adrian pun merasa dia terlalu melebih-lebihkan. "Lucien, apa kamu tidak terlalu berlebihan?""Aku bukan hanya akan mencari, tapi juga menyelidiki."Lucien tidak menghiraukan, suaranya dingin dan suram. Setiap kata terdengar seperti dipaksa keluar di sela-sela giginya. "Periksa siapa sebenarnya yang berani bertindak di depan mataku."...Di lantai dua puluh satu.Shanaya gemetar hebat. Dia terus memaksa dirinya tetap tenang, tetapi rasa takut di hatinya sama sekali tidak bisa ditekan

Namun, ini juga pertama kalinya Bianca menyadari bahwa Lucien begitu peduli pada hidup dan mati Shanaya.Baru saja Lucien bertindak tegas, memimpin orang-orangnya sendiri untuk menggeledah seluruh gedung.Aura yang dia pancarkan begitu kuat, seakan-akan seluruh hati dan matanya hanya dipenuhi oleh Shanaya, adik perempuannya.Pria sehebat ini...Andai saja Adrian bisa memperhatikannya seperti Lucien, entah betapa bahagianya hidupnya!Lucien tidak berniat menghiraukan keributan di luar. Ujung jarinya lembut menghapus air mata gadis itu. "Nana sayang, tidak apa-apa. Kalau ingin menangis, menangislah sepuasnya."Begitu selesai berbicara, tatapannya jatuh pada memar yang jelas terlihat di lengan Shanaya. Suaranya tiba-tiba merendah penuh tekanan. "Apakah Gian yang melukaimu?"Shanaya terlambat menyadarinya, menunduk, lalu mengikuti arah tatapannya ke lengannya sendiri. Dia menggeleng, air mata tetap mengalir, suaranya serak sekali. "Aku yang membuatnya sendiri."Biasanya, jarum yang tertana

"Tanpa alasan pun, aku nggak mungkin melepaskan orang."Lucien seolah mendengar lelucon, dengan lantang bertanya, "Apalagi kalau ada alasannya, kenapa harus melepaskan?"Dunia luar selalu menyebut dia sebagai raja neraka yang angkuh dan tak mengenal siapa pun.Akan tetapi, Adrian tidak menyangka, cara dia sekarang sudah keras sampai sejauh ini.Dia bahkan tidak menghargai rasa persahabatan di masa lalu.Suasana sempat membeku.Adrian terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah kamar tidur. "Bagaimana kalau kita dengarkan saja pendapat Shanaya?"Shanaya berdiri di dalam kamar, tangannya masih di gagang pintu. Mendengar kata-kata itu, bibirnya melengkung tipis dengan dingin, lalu dia membuka pintu dan melangkah keluar.Melihatnya muncul, ekspresi Lucien sedikit melunak. Dia mematikan rokok, hendak melambaikan tangan memanggilnya, tetapi Shanaya menatap balik dengan suara datar. "Kejadian ini lupakan saja."Kening Lucien berkerut. "Apa kamu bilang?"Suaranya tenang bagai sumur tua tanpa riak, t

"Kak, bukan begitu, tolong lepaskan aku…"Suara Lucien sedingin ruang es. "Kalau tidak mau bicara, aku akan suruh orang menyelidikinya."Mata Gian terpejam rapat, tanpa sadar dia berteriak, "SMP!"Jari Lucien yang mencengkeram kerah bajunya berderak, urat di kening menegang. Baru saja hendak meledak, tiba-tiba Gian menangis dan berteriak, "Tapi aku tidak berani! Kak! Waktu itu dia masih ada di sisimu. Aku punya niat tapi tidak ada nyali!"Tatapan Lucien menggelap, entah teringat apa, mata hitamnya menunduk dingin menatapnya. "Enam tahun lalu kamu pergi ke luar negeri karena ini?"Jantung Gian langsung berdebar kencang.Dia sama sekali tidak menyangka, Lucien bisa menebak begitu cepat.Malam itu perkara itu sudah ditekan habis oleh Nenek. Saat itu, kekuasaan Lucien masih jauh dari kata tak tertaklukkan. Di Keluarga Wiraatmadja, masih Nenek yang memegang keputusan.Melihat Gian seperti seekor bebek yang lehernya dicekik, apalagi yang tidak dipahami Lucien...Enam tahun lalu.Shanaya baru

"Ya."Shanaya melangkah maju dua langkah lagi. Belum sempat berdiri tegak, Nyonya Gayatri langsung mengangkat tangan dan menampar wajahnya dengan keras!Walau sudah begitu, amarah Nyonya Gayatri tidak juga berkurang. Dia langsung membentaknya dengan suara penuh amarah, "Gian terluka sampai begitu parah, dan kamu bilang tidak tahu? Shanaya, apa kamu benar-benar tidak punya hati nurani?!"Air liur berhamburan.Lambungnya sangat lemah.Amarah di hatinya jauh lebih mudah tersulut dibanding dulu.Kalau terus begini, umurnya takkan panjang.Shanaya menundukkan kepala, lalu bicara dengan nada penuh kepura-puraan, "Nenek, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi."Di bawah tatapan murka Nyonya Gayatri, dia terpaksa berpura-pura peduli. "Sebenarnya Kak Gian terluka separah apa?"Nyonya Gayatri menggertakkan gigi. "Naik ke atas dan lihat sendiri!""Baik."Shanaya menunduk patuh, lalu berbalik dan melangkah menuju lantai atas.Begitu sampai di pintu kamar, terdengar jeritan menyayat.Di dalam