Puspa malas buang tenaga untuk berdebat. Ia tarik kembali lehernya, silangkan tangan di dada, lalu menoleh ke luar jendela, suaranya tenang.“Kalau nggak mau, ya sudah. Setir mobil saja.”Indra mencengkeram dagunya, paksa wajahnya berbalik, mata dalam Indra menekan, “Ngapain kamu ngambek gitu?”Puspa dipaksa menengadah, posisi itu buat lehernya terasa kaku dan nggak nyaman.“Kalau aku diam, kamu bilang aku kaku. Kalau aku punya emosi, kamu bilang aku sedang membangkang. Jadi bilang aja kamu mau aku gimana, nanti aku ikuti sesuai kemauanmu.”Kening Indra berkerut tajam, jelas sekali ia nggak puas dengan sikap Puspa.“Nggak bisa bicara baik-baik ke aku?!”Puspa nggak ribut, nggak melawan. Wajahnya justru tampilkan senyum palsu, tipis dan dibuat-buat. “Oke, semua akan aku turuti.”Indra justru makin muak, ia benci wajah Puspa yang seperti nggak bernyawa, dan lebih muak lagi dengan kepalsuan itu. Dengan genggaman yang semakin kuat, ia tarik tubuh Puspa mendekat, lalu menunduk cium bibir Pu
Read more