Semua Bab Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan: Bab 41 - Bab 50

Kenyataannya sangat ironis. Puspa, istri sah yang seharusnya dihormati, kini setiap hari datang tepat waktu hanya untuk antar makanan ke kamar rawat Wulan. Sementara sang “suami” Indra seolah nggak pernah merasa ada yang salah dengan semua ini. Kamar rawat Wulan nggak pernah sepi. Para teman dekat Indra silih berganti datang menjenguk, buat ruangan itu seperti ruang tamu pribadi. Lukman, salah satu sahabat lama Indra, langsung cegat dan buka kotak makan tanpa sungkan. Sambil mengunyah, ia berseru riang, “Indra, kok kamu nggak bilang sih kalau di rumah ada juru masak sehebat ini?”Ia melirik ke arah Puspa. “Gimana? Tertarik kerja di rumahku? Bayarannya bagus kok, tinggal sebut harga.” Sebelum Puspa sempat jawab, Wulan sudah lebih dulu menyela dengan suara lembut namun menyimpan tajam, “Kak Lukman, kayaknya nggak pantas deh ngajak Kak Puspa kerja di rumahmu.”Lukman tertawa kecil, nggak ambil pusing. “Apa yang nggak cocok? Di rumah juga dia masak, di tempatku pun begitu. Bedanya aku

Mobil melaju pelan di jalanan kota, membelah sore yang mulai redup. Indra melirik sekilas ke arah tangan kiri Puspa, tepatnya pada jari manis yang kosong. Ia terdiam sejenak, lalu bertanya, “Cincinnya ke mana?”Puspa sedikit terkejut, lalu menjawab sambil mengusap jari manisnya, “Tadi pagi aku taruh di wastafel… lupa dipakai sebelum keluar.”Cincin itu sudah lama ia lepas. Ia hanya nggak nyangka Indra baru sadar sekarang. Menatap bekas lingkaran samar di jari manisnya, jejak waktu selama bertahun-tahun, hati Puspa perlahan terbang ke masa lalu. Cincin kawin itu, sejak awal bukan dibuat sesuai ukurannya. Terlalu longgar, terlalu asing. Tapi waktu terima itu dulu, hati Puspa tetap terasa manis, seolah-olah ia menenggak madu hangat di musim dingin. Ia diam-diam bawa itu untuk dikecilkan. Dan sejak saat itu, cincin itu melekat di jarinya selama lima tahun. Namun kini, kenyataan pahit membuatnya sadar: Dia bukan miliknya dan nggak cinta dia. Sentuhan dingin itu menarik kembali pikiran

“Guru tahu aku menikah dengan siapa?”Guru Zean kembali mendengus, suaranya seperti banteng nggak sabaran. Puspa semakin merasa bersalah. Ia nggak menyangka, sang guru masih memperhatikannya. Ia kira guru sudah kecewa sedemikian dalam hingga nggak mau tahu lagi. Rasa malu dan sedih memenuhi dadanya. Puspa menggigit bibir, hidungnya mulai memerah, matanya terasa panas. Guru Zean memandangnya dengan jijik. “Lemah begitu, nangis apaan? Jangan pasang muka kayak aku nindas anak kecil.”Puspa buru-buru menahan air mata. Ia bahkan nggak berani mengedipkan mata, takut airnya jatuh. Wilson kembali jadi penengah, seperti biasa. “Bukannya acara pidato segera mulai? Gimana kalau aku temani guru ke aula?”Tapi gaya Guru Zean nggak berubah, keras kepala dan sensitif. “Kamu kira aku pincang? Atau butuh tongkat? Ngapain gandeng aku?”Wilson terdiam.Ia merasa nggak lakukan kesalahan apa pun, tapi tetap kena semprot. Ia lupa, dekat Puspa, semua bisa jadi korban amarah. Tatapan Guru Zean kembali

Perayaan ulang tahun kampus akhirnya usai. Puspa berdiri di sisi aula, menunggu Guru Zean yang sedang berbincang hangat dengan beberapa kenalan lamanya. "Setelah bertahun-tahun, Indra masih luar biasa seperti sebelumnya."“Yah, itu sudah jelas. Dia terlahir kaya. Hidupnya dimulai di atas, sementara kita ini cuma lahir di kandang sapi. Mana bisa dibandingkan?”“Aku dengar dia sudah menikah.”“Di usia segini, menikah kan wajar-wajar saja?”“Padahal dulu dia dan Kak Santosa begitu serasi. Tak disangka, akhirnya dia tetap menikahi orang lain.”“Dengan status Keluarga Wijaya, tentu harus menikah dengan pasangan yang sepadan.”Telinga Puspa sedikit bergerak. Ternyata marga cinta pertama Indra adalah Santosa. “Aku penasaran, sekarang Kak Santosa yang di luar negeri itu gimana kabarnya.”“Hei, kamu masih memikirkannya ya?”Percakapan itu mendadak terputus. Tatapan mereka membelalak, suara mereka berubah penuh hormat. “Pak Indra!”Puspa spontan menoleh ke belakang dan mendapati Indra sudah b

Keesokan harinya, saat Indra terbangun, ia mendapati dirinya tergeletak di lantai. Ia terduduk dengan ekspresi kebingungan, mengusap belakang kepalanya yang terasa nyeri, dan berusaha mengingat, gimana bisa ia tidur di lantai? Aroma alkohol yang masih melekat di pakaiannya membuat Indra mengernyit kesal. Ia lalu mandi, berganti pakaian, dan turun ke lantai bawah. Bu Sekar saat ini masih tinggal di kediaman Wulan, jadi urusan rumah sementara dipegang oleh Bu Widya. Indra bertanya tanpa banyak basa-basi, “Istriku keluar rumah jam berapa?”Bu Widya tertegun, balik bertanya, “Nyonya Puspa nggak di atas?”Ia sama sekali tak tahu bahwa Puspa sudah keluar sejak malam sebelumnya. Kening Indra mengerut samar. Ingatannya tentang semalam memang kabur, namun ia masih sempat ingat Puspa yang merawatnya. Sayangnya memori itu hanya sebatas itu, nggak ada kelanjutan. Setelah semalaman tidur di lantai, tubuhnya terasa pegal-pegal. Ditambah dengan rasa nggak nyaman dan suasana hati yang buruk, i