Semua Bab Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan: Bab 31 - Bab 40

Puspa berusaha keras untuk melepaskan diri. “Lepaskan aku! Aku nggak mau!”Namun, perlawanan itu justru buat Indra makin buas. “Kalau nggak mau, anaknya datang dari mana?”Nada suaranya tetap datar, seolah nggak sadar di balik tatapannya yang membara oleh hasrat, kata-katanya telah jadikan Puspa tak ubahnya alat reproduksi. Indra di ranjang emang selalu nggak pernah tahu arti kelembutan. Dan malam ini, ia bahkan lebih kasar dari malam-malam sebelumnya, seolah nggak peduli sedikit pun pada perasaannya. Nggak ada kenikmatan. Yang terasa hanyalah perih yang nggak kunjung berhenti. Wajah Puspa mulai pucat. "Lepaskan, sakit sekali."Tapi belas kasih seorang pria hanya untuk perempuan yang ia cintai. Bagi perempuan lain, simpati hanyalah angan-angan saja. Dan Puspa jelas bukan perempuan itu. Serangan demi serangan membuat tubuhnya makin melemah. Suaranya mengecil seperti embusan angin yang nyaris padam. “Indra… tolong… aku benar-benar kesakitan…”Akhirnya Indra pun sadar ada yang nggak

“Kamu nggak ngerti bahasa manusia, ya? Cepat pergi! Jangan bikin keributan di sini,” kata sang asisten dengan tatapan tajam. Ia mengibaskan tangannya dengan kesal.Baru saja si asisten selesai mengusir, pintu kantor terbuka. Indra keluar tepat pada waktunya. "Pak Indra."Indra saat ini menatap Puspa dengan dahi berkerut. “Kamu ngapain di sini?”Puspa tetap tenang, meski dadanya sempat mengencang. “Ada dokumen proposal yang perlu disetujui.”Indra menanggapi dengan datar, “Bagian humas nggak ada orang lain?”Apa dia sedang menyindirnya? Bahwa kehadirannya mengganggu? Wulan ikut menimpali, “Pak Indra, sudah ditunggu di ruang rapat.”Tapi Indra hanya menjawab dingin, “Urusan di sini kamu nggak perlu ikut campur.”Tanpa menoleh, dia melangkah pergi bersama Wulan. Asisten menatap Puspa dengan sorot menghina. Ia menyeringai dan mencibir, “Pikir karena kamu cantik dikit, terus bisa manjat pohon tinggi, ya? Coba ngaca, tahu nggak kamu siapa? Berani-beraninya ngincar yang bukan milikmu! Pak

Selesai sarapan, Indra berdiri hendak berangkat kerja. Ia membentangkan kedua lengannya, menunggu seperti biasa tunggu Puspa bantu dia jas. Tapi kali ini, yang dinantikan nggak kunjung datang. Puspa duduk diam di kursinya, nggak gerak sedikit pun. Para pembantu mulai melirik ke arah ruang makan, menyadari ada yang nggak beres. Puspa pun menoleh, seperti baru sadar ada yang janggal. Puspa langsung berkata, "Aku lagi nggak enak badan, sudah izin cuti. Jadi hari ini nggak akan keluar bareng kamu. Hati-hati di jalan ya. Aku naik ke atas dulu, mau istirahat."Tanpa menoleh lagi, ia naik tangga, biarkan Indra berdiri sendirian di tengah ruangan. Tentu saja Puspa tahu maksud Indra. Dulu dia selalu berdiri di posisi pelayan nggak bergaji bantu pakai jas, atur jadwal, persiapkan makan siang, bahkan merapikan dasi. Dia menjelma istri yang sempurna, sekaligus pengurus rumah tangga yang nggak pernah istirahat. Tapi sekarang? Ia nggak mau jadi "pengurus rumah Wijaya" lagi. Indra hanya bisa m

Di bawah cahaya lampu, kedua sosok itu saling berpelukan. Matanya membelalak saat lihat adegan itu nggak terelakkan, begitu nyata. Napasnya tertahan. Wilson yang berdiri di sampingnya juga menyadari sesuatu. Ia spontan menoleh, mengikuti arah pandang Puspa. Namun hembusan angin malam pun nggak mampu menenangkan bara yang menghangus dari dalam dirinya. Malu, marah, terrhina. Pandangannya terlalu tajam hingga Indra pun akhirnya sadar. Ia menoleh, dan mata mereka bertemu. Sekilas ragu melintas di wajahnya. Ia bertanya, seolah nggak tahu-menahu, “Kenapa kamu di sini?”Puspa tersenyum tipis. Senyuman yang getir dan mengejek.“Apa aku ganggu momen kalian?”Indra belum sempat menjawab, tapi Wulan sudah duluan panik. “Kak Puspa, kamu salah paham! Ini bukan seperti yang kamu pikirkan! Kami nggak ada hubungan apa-apa, sungguh! Aku cuma… aku tadi… eh, aku nggak sengaja peluk! Ada alasannya kok, beneran! Pokoknya, jangan salah paham sama Kak Indra ya! Semua ini salahku, nggak ada hubungannya

"Kak Indra..." Wulan langsung ambil gelas anggur yang tadi hendak diambil Indra, lalu meneguknya habis dalam satu tarikan napas. “Duh, haus banget aku.” "Ah ... " Ekspresi Puspa langsung berubah. Belum sempat ia meraih gelas itu, Wulan sudah menenggaknya hingga habis. Puspa hanya bisa terdiam.Wulan berkedip polos. “Kenapa, Kak Puspa? Masa cuma gara-gara aku minum segelas anggur, kamu jadi keberatan? Atau jangan-jangan ada sesuatu di dalam minuman itu?”Ucapannya seperti kelakar santai, tapi cukup untuk membuat tatapan Indra berubah jadi curiga. Sorot matanya tajam mengarah pada Puspa. Puspa menahan napas yang bergejolak di dadanya. Ia paksa dirinya tetap tenang. “Nggak. Nggak ada apa-apa.”Dengan otak sedangkal Rini, Puspa sudah bisa menebak isi racikannya, obat perangsang atau semacamnya. Cara lama yang biasa dipakai agar bisa "menjadi milik" seseorang lewat satu malam skandal. Awalnya Puspa hanya ingin cegah Rini, tapi siapa sangka malah Wulan yang terjebak. Entah Wulan memang