All Chapters of Pembalasan Sang Putri Pengganti : Chapter 101 - Chapter 110

Darren mengantar Elina ke kamar mandi, setelahnya dia kembali ke ruang tamu lalu menatap kedua orang tuanya yang tampak panik.Claudia dan Marco sama-sama berdiri saat Elina meminta izin pergi ke kamar mandi. Mereka bingung, kenapa Elina menangis.“Apa Elina sebenarnya tidak serius denganmu? Bukankah kamu bilang kalau sedang mengejarnya? Karena itu Elina malah sedih saat mendengar sebutan mama?” tanya Claudia memastikan.Claudia tiba-tiba saja sedih dan takut kalau sebenarnya Elina tidak serius dengan Darren. Itu artinya keinginannya punya anak menantu dan cucu akan gagal.“Bukan seperti itu, Ma,” balas Darren. Dia menatap kedua orang tuanya yang menatap heran.“Sebenarnya ada sesuatu yang belum kuceritakan ke Mama,” kata Darren lagi.Kening Claudia berkerut dalam, setelahnya dia membalas, “Cerita apa? Kalau memang ada yang mau kamu ceritakan, ceritakan sekarang. Jangan sampai membuat satu di antaranya yang lain tak nyaman.”Darren mengulum bibirnya sejenak, menoleh sekilas ke belakan

Elina dan Darren baru saja selesai sarapan bersama. Elina menatap ibu Darren yang sangat ramah padanya, sampai membuatnya tak bisa berkata-kata karena keramahan dan kehangatan yang Claudia dan Marco berikan.“Kapan-kapan, apa boleh main ke sini lagi?” tanya Elina setelah mengelap mulut dengan lap bersih.Mendengar apa yang dikatakan Elina, semua orang terkejut. Claudia bahkan langsung tersenyum panik, lalu dia segera berkata, “Sebenarnya, kami mau ke luar kota ada urusan, jadi tidak akan tinggal dalam waktu dekat juga.”Elina cukup terkejut, sebelum dia bicara, Darren lebih dulu berkata, “Mama dan Papa ada urusan keluarga di luar kota dan akan tinggal di sana agak lama.”Elina membentuk huruf O dengan bibir sambil mengangguk-angguk.Setelah makan, Darren lebih dulu menemui sang mama di belakang sebelum pulang dengan Elina.“Sampai kapan kamu akan membohonginya?” tanya Claudia dengan nada pelan.“Akan segera aku jelaskan setelah urusanku selesai,” kata Darren.Claudia mencebik, lalu me

Elina semakin menggenggam erat telapak tangan Magentha, wajahnya begitu dekat dengan sang nenek untuk mendengarkan lebih jelas apa yang neneknya katakan.“Nek, Nenek bicara apa?” tanya Elina dengan wajah begitu cemas dan panik.Mata Magentha terbuka sedikit, dengan napas tersengal Magentha samar-samar melihat wajah Elina.“E-li-na, ne-nek ….”Elina mendengarkan dengan seksama apa yang ingin sang nenek ucapkan, tapi sang nenek yang tiba-tiba seperti kehabisan napas tak bisa bicara, membuat Elina panik.“Nek, Nenek bertahanlah.” Elina menggenggam erat telapak tangan Magentha yang semakin dingin.Saat itu, suara pemantau detak jantung Magentha berbunyi nyaring, membuat semua petugas medis panik dan segera mengecek kondisi Magentha.“Nona, silakan keluar dulu,” kata perawat sambil menarik mundur tubuh Elina.Elina masih menggenggam telapak tangan Magentha, tatapannya penuh dengan kecemasan saat melihat perawat dan dokter mulai berkerumun di sekitar Magentha saat tangannya terlepas dari sa

Samantha menoleh dengan kening berkerut dalam mendengar ucapan Eleanor.“Kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Samantha.Eleanor diam sesaat, lalu membalas, “Ya, yang kulihat seperti itu. Perhatian Darren menurutku berlebihan pada Elina. Bahkan semalam aku melihat mereka berpelukan.”Mendengar apa yang dikatakan Eleanor, Samantha membulatkan bola mata lebar.“Kamu yakin?” tanya Samantha dengan mata menyipit.“Untuk apa aku berbohong juga, Ma.”Samantha diam mendengarkan ucapan Eleanor. Jika memang yang dikatakan Eleanor benar, tentu dia takkan tinggal diam saja. Elina tidak boleh mendapat dukungan dari siapa pun.Di pemakaman.Elina kini berjongkok di samping makam sambil memegang batu nisan sang nenek. Matanya masih tertutup kacamata, menyembunyikan kepiluan yang tersorot dari matanya yang sembab.Darren masih berdiri di belakang Elina, setia memayungi Elina.Mereka berada di sana cukup lama, sampai matahari begitu tinggi dan menyilaukan mata.“Elina, kita sebaiknya pulang sekarang

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Darren datang ke kamar Elina seperti yang dijanjikan, Elina sendiri mengunci pintu kamarnya agar tidak ada siapa pun yang masuk sembarangan ke sana.“Kamu sudah menyimpan makanannya?” tanya Darren.Elina mengajak Darren duduk di sofa, dia lalu mengambil kantong plastik yang disembunyikan di bawah sofa.“Aku mengambil sedikit sampel dari makanan,” kata Elina lalu menyerahkan kantong berisi makanan ke Darren.Darren menerima kantong itu, dia mengamatinya sejenak sebelum memasukkaan kantong ke saku jaketnya.“Aku sudah meminta temanku untuk mengambil sampel ini dan mengujinya untuk memastikan apakah kecurigaanmu benar atau tidak,” ucap Darren.Elina mengangguk pelan, lalu dia berkata, “Jika tidak ada sesuatu, Nenek pasti takkan memberiku peringatan, kan?”Darren mengangguk-angguk, lalu Elina kembali bicara.“Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang janggal dengan kematian Nenek. Bagaimana bisa Nenek jatuh begitu saja?” Elina diam, mengingat jika sa