All Chapters of Cinta di Balik Palu Hukum: Chapter 51 - Chapter 60

Malam menetes perlahan di atas kota yang baru saja menelan hari persidangan paling panas dalam dekade terakhir. Udara asin dari laut bercampur dengan bau solar dan karat besi. Lampu dermaga redup—beberapa padam, beberapa berkelap-kelip, seperti menandai garis tipis antara hidup dan mati. Revan melangkah seorang diri. Jaket kulit hitamnya menempel basah di punggung. Ponselnya sudah ia matikan sejak meninggalkan rumah aman; hanya satu senjata kecil terselip di balik ikat pinggang, dan selembar foto kecil Raisa di dompetnya—pengingat akan alasan dia masih hidup sejauh ini. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 01:57. Angin laut menggulung, membawa aroma dingin yang menggigit kulit. Dermaga utara tampak kosong, kecuali satu kapal kargo tua dengan logo yang sebagian terhapus: Orion Export Line. “Datang sendiri,” pesan itu bilang. Dan dia menepatinya. Suara langkah dari arah kapal. Revan menegakkan tubuh, bersiap. Dari bayangan kontainer muncul sosok bertopi, wajahnya tert

Hujan yang tadi malam hanya gerimis kini berubah rintik yang terus heningkan kota. Di ruang bawah tanah kantor Nayla, lampu redup memantulkan bekas-bekas kopi kering di meja kayu. Di antara tumpukan berkas, peta digital, dan tiga mug yang sudah dingin, tiga orang itu duduk mengelilingi potongan logam Orion—seolah memandang sebuah batu pusaka yang mengandung kutukan. “Ada pola ukiran di baliknya,” kata Nayla sambil menyorot kaca pembesar. “Bukan sekadar estetika. Lihat ini—garis-garis ini membentuk matriks pengenal. Kalau kuhubungkan dengan data registri industri, ini cocok dengan satu tipe modul akses: Mirror Node Identification.” Revan mengangkat kepala pelan. Matanya masih merah karena kurang tidur. “Jadi bukan server fisik yang biasa. Ini kunci logis untuk mirror server mereka. Dengan ini—” ia menunjuk potongan logam, “—kita bisa minta replikasi data otentik dari sistem inti. Semua rekaman transaksi, log pengubahan pasal, tanda tangan elektronik. Bukti yang tak mungkin diputarba

Van berhenti di sebuah gudang tua di luar kota, di pinggiran Bekasi. Lampu-lampu kota sudah menghilang dari pandangan; hanya gemuruh hujan dan kilat sesekali yang menerangi jalanan becek. Raisa mematikan mesin, sementara Revan memeriksa sekitar dengan insting lamanya. “Bersih,” katanya pelan. “Tidak ada kendaraan lain yang mengikuti.” Nayla duduk di kursi belakang, matanya terpaku pada layar laptop. “Aku sudah isolasi flashdrive dari jaringan. Sekarang kita lihat apa yang sebenarnya kita dapat.” Raisa membuka jaketnya, mengeluarkan potongan logam Orion dari saku dalam. Simbolnya berdenyut lembut, seolah masih menyimpan energi. “Kau yakin tempat ini aman?” Nayla mengangguk. “Dulu ini safehouse-nya klien-ku—kasus korupsi skala besar yang tak pernah naik ke meja sidang. Tempat ini tidak tercatat di dokumen publik.” Laptop Nayla menyala. Deretan kode memenuhi layar, lalu muncul folder dengan label: Mirror_Dataset_A-17. Revan mencondongkan tubuh. “Buka saja.” Klik. Di layar,

Langit dini hari di atas kota tampak seperti lembar abu, kosong dan sunyi. Hujan sudah berhenti, tapi bau asap dan oli masih menggantung di udara. Di sudut pasar tua yang sudah lama ditinggalkan, dua bayangan berjalan cepat melewati deretan kios besi berkarat. Raisa membuka kunci gembok tua di salah satu kios, memasukinya tanpa suara. Di dalamnya, hanya ada meja kecil, generator portabel, dan sebuah antena buatan tangan yang dirakit Nayla malam sebelumnya. “Ini titik aman terakhir,” kata Nayla sambil menyalakan laptop. “Setelah ini, kita tak bisa sembunyi lagi. Mirror Court akan tahu ada entitas luar yang mencoba akses.” Raisa duduk di seberang, matanya masih merah karena kurang tidur. “Kau yakin koneksi ini cukup kuat?” “Tidak,” jawab Nayla jujur. “Tapi satu-satunya cara untuk membuka sistem mereka adalah lewat pintu bayangan. Kita tidak bisa masuk dari jaringan publik. Kita harus lewat bawah tanah, dari node yang ditinggalkan di sektor hukum digital versi lama—tempat mereka d

Asap dari knalpot bercampur dengan embusan udara pagi yang lembap. Di kejauhan, suara sirene berlapis—tiga nada berbeda dari tiga lembaga keamanan—menyatu seperti simfoni yang mengabarkan perburuan. Raisa menoleh ke kaca spion, matanya menatap bayangan lampu biru yang berpendar di sudut jalan. “Dia gerakkan seluruh unit penegakan hukum,” gumam Darel, menekan pedal gas. “Tiga departemen berbeda… berarti Mirror Court sudah mengeluarkan perintah Legal Pursuit Warrant. Kita bukan lagi buronan kriminal biasa, kita target hukum negara.” Nayla menatap layar ponselnya, wajahnya pucat. “Tapi publik sudah tahu. File audio-nya sudah diverifikasi di server Zurich! Lihat…” Ia memiringkan layar agar Raisa melihat: Status: Verified (Level-1, International Legal Transparency Network) Di bawahnya, notifikasi terus berdatangan: #MirrorCourt mulai trending di berbagai platform. Namun, kegembiraan itu hanya sebentar. Sebuah pesan baru muncul di bawah: Counter-Verification Request Initiated b