Udara rasanya menegang, seperti napas yang ditahan oleh alam. Cahaya biru dari portal berputar, memancarkan denyut yang membuat telinga berdenging. Di tengah pusaran itu, tangan muncul — bukan tangan manusia, melainkan bentuk panjang dan tembus cahaya, seperti urat-urat listrik yang berpilin menjadi jari. Angin arus energi berputar, menderu, merobek hujan yang tersisa. Semua yang berada di halaman gudang tersedot oleh kebisu singkat, lalu teriakan, tembakan, dan ledakan kembali pecah menjadi simfoni perang.Tangan itu menjulur — pertama kecil, lalu semakin kokoh — menggapai tubuh Revan.Raisa menatap, jantungnya seperti ingin keluar dari dada. “Revan!” suaranya pecah, langsung menajam seperti pisau di antara dentuman. Ia berlari, menembus debu, menendang puing-puing agar bisa lebih dekat. Aruna menepuk bahunya, menariknya kembali. “Jangan bodoh! Kau bisa tertarik juga!” tapi Raisa sudah melaju, mata hanya satu: Revan.Revan berdiri di tengah lingkaran cahaya, tubuhnya separuh melayang
Terakhir Diperbarui : 2025-09-29 Baca selengkapnya