Langit Jakarta sore itu mendung, seperti menunggu sesuatu jatuh dari awan. Sinta duduk di kursi belakang ruang rapat keluarga Mahendra yang luas, dingin, dan penuh pantulan cahaya lampu kristal. Ia merasa kecil di ruangan itu, dinding kayu berukir, meja panjang mengilap, kursi kulit hitam berjajar rapi. Udara dingin dari AC bercampur bau kopi mahal yang disajikan di meja samping, tapi bagi Sinta, yang paling menusuk adalah atmosfer tegang: bisikan, tatapan, dan desahan yang bukan milik keluarga, melainkan medan perang.Di ujung meja, Arga duduk tegak. Jas hitamnya terlalu rapi, wajahnya tanpa senyum, tapi matanya tajam. Berbeda jauh dengan lelaki yang semalam menatap teh manis di kontrakan mereka. Kini ia adalah Aditya Mahendra, nama yang berulang kali disebut para paman, tante, dan kerabat di sekeliling meja.Seorang pria paruh baya berkacamata, Paman Surya, membuka pembicaraan. Suaranya berat, mengisi ruang.“Sejak Dewangga tiada, kita harus bergerak cepat. Mahendra Group tidak bisa
Last Updated : 2025-09-28 Read more