Aku tidak tahu sudah berapa lama berdiri di depan lelaki itu. Ruang baca yang tadi tampak seperti tempat sunyi berubah jadi sesuatu yang lain, sebuah ruang ujian, sepi tapi menelanjangi.“Peta yang kau tulis,” katanya, suaranya nyaris bisikan, “bukan di atas kertas.”Aku tidak menjawab. Tanganku masih memegang tali ransel, keringat dari jari menyerap ke kain. Di luar, samar-samar terdengar dentuman, suara logam menghantam kaca. Mungkin Ira. Atau orang-orang yang ia tahan.“Duduklah, Bu Sinta,” ucapnya lembut. Lelaki tua dengan kemeja yang pernah putih, sekarang pucat oleh debu arsip. “Kau datang jauh-jauh membawa hal yang sudah tak bisa ditulis lagi.”“Siapa Anda?”Ia tersenyum, mengeluarkan sesuatu dari tas kulit lusuh —, selembar kertas bergaris, menguning, dengan tulisan tanganku sendiri.“Ini... dari blog lama,” bisikku.“Yang sudah kau hapus tujuh tahun lalu.”Aku menatapnya, tak tahu harus marah atau takut.“Kau menulis tentang jalan-jalan tua di kota ini,” lanjutnya, “tentang j
Last Updated : 2025-10-05 Read more