Semua Bab Dia Ayahku, yang Membuat Ibuku Gila: Bab 31 - Bab 40

Cahaya menahan tawa saat melihat ekspresi ibu tirinya. Bukan simbok yang kali ini membuka pintu untuknya tapi sang nyonya besar sendiri, dan Cahaya berani bertaruh kalau wanita itu sengaja menunggunya pulang. Apa yang terjadi di tempat kerjanya pasti sudah terdengar oleh wanita itu dan dia yakin wanita itu tidak akan tinggal diam kehilangan semua itu, apalagi jika ayahnya masih bisa dia kendalikan. Mulutnya yang sudah terbuka siap memakinya dan wajahnya yang memerah membuktikan itu semua tapi semua tak bisa dia lakukan karena sopir yang dikirim Ary lebih dulu melangkah masuk sebelum mempersilahkan Cahaya masuk dengan sopan, seolah laki-laki itu sedang memastikan kalau tidak ada bahaya yang akan membahayakannya. Ini membuatnya takut pada Ary, laki-laki itu baru dikenalnya bahkan sebelum pernikahan mereka hanya bertemu dua kali, tapi Ary seperti sangat mengenal dirinya dan melakukan apapun untuk membuatnya nyaman. Ini bukan cinta, Cahaya tahu itu, laki-laki seperti Ary seharusnya t

“Dia belum layak mendapatkan fasilitas itu, jadi batalkan saja,” kata Cahaya pada manager pembelian saat mendatanginya. Cahaya sampai tak habis pikir apa yang ada dalam pikiran ayahnya, apa dia tidak takut karyawan lain akan berontak jika seperti ini. Usaha yang dirintis orang tuanya ini memang bukan perusahaan besar dengan ribuan karyawan, mereka hanya perusahaan kecil yang dalam awal berdirinya bahu membahu untuk membesarkan usaha. Banyak dari karyawan di sini yang sudah ada sejak awal usaha ini dibentuk dan tentu saja meski gaji mereka tergolong besar sesuai jabatannya tapi tidak pernah menerima fasilitas mobil dinas pribadi apalagi seharga ratusan juta, bahkan manager pemasaran dan penjualan yang sudah menemani mereka sejak awal berdiri usaha ini masih menggunakan mobil pribadinya yang dibeli dengan uangnya sendiri hanya saja perusahaan mengganti biaya bahan bakarnya. Ayahnya seperti menyiram bensin dalam kayu kering jika sampai menyetujui ini. Ayahnya bukan orang bodoh te

Cahaya meletakkan nampan di meja kecil di sudut ruangan, matanya menatap simbok yang berdiri menunduk, tapi bukan penyesalan yang dia lihat sekilas saat mata tua itu menatapnya tadi. Rasa puas. Simbok bukan orang jahat yang akan mencelakakan orang lain, tapi kenapa istri baru ayahnya seperti mengisyaratkan ada yang sedang menjahati anaknya. "Jangan bicara sembarangan ayo bawa Tari ke rumah sakit!" Kata sang ayah pada istri barunya tanpa mau dibantah. Sang ibu tiri masih menatapnya tajam, tapi Cahaya hanya mengangkat alisnya antara tak mengerti tapi juga menantang. "Masuk kamar, Aya jangan pergi kemana-mana, papa setelah ini kita harus bicara," kata sang ayah tegas. Cahaya hanya mengangkat bahu, lalu berjalan mendekati simbok. "Ada apa dengan mereka?" Tanya Cahaya pada simbok yang tersenyum padanya. "Oh itu, Non Tari sakit." "Sakit?" Tanya Cahaya dengan mata menyipit curiga apalagi saat melihat wajah simbok yang tak terlihat bersimpati dengan berita ini. Simbok orang yang b

“Aya bangun kita sudah sampai.” Cahaya menggeliatkan tubuhnya yang pegal. Dia memperhatikan sekelilingnya dengan bingung dan dia makin tak mengerti dengan dirinya sendiri saat ada Ary di sampingnya, kenapa dia selalu tertidur pulas saat ada laki-laki itu di sampingnya, bukankah harusnya dia tidak bisa memejamkan mata. merasa terancam, merasa ketakutan bukannya merasa nyaman. Ah sial pasti insting melindungi dirinya telah rusak, dia pasti terlalu banyak makan sayur dan buah mengabaikan kue-kue manis kesayangannya. “Ini di mana?” tanyanya. “Hotel, kamu bisa lihat papan nama di sana bukan,” kata Ary yang terlihat sangat geli saat mengatakannya. Sialan kalau itu dia juga tahu dia tidak buta huruf. “Maksudku kenapa kita di sini?” ulangnya. Cahaya kira Ary akan membawanya ke rumah laki-laki itu tapi harapannya memang terlalu tinggi. Meski mereka suami istri yang sah di mata agama dan negara tapi tetap saja dia merasa seperti istri simpanan, Ary tak mungkin membawanya ke rumah milik

“Kamu bajingan yang sangat beruntung, Nak.” Kata laki-laki itu sambil terkekeh pelan setelah memperhatikan wanita yang dibawa Ary. Sosoknya memang menarik dan penuh karisma, tapi Cahaya bahkan tak bisa menghilangkan rasa takut saat melihat laki-laki tua di depannya ini. Laki-laki ini sangat berbahaya. Pandangan mata Cahaya langsung menatap Ary dengan tatapan menuduh. Persembahan. Apa dia akan dibunuh untuk dijadikan tumbal kekayaan laki-laki ini. Jika iya betapa bangsatnya Ary. Tunggu... itu tidak penting sekarang, yang penting dia harus kabur, tapi bagaimana caranya. “Wah dia takut, Ry,” kata laki-laki tua itu lagi dengan nada mencemooh. Sialan Cahaya lupa membawa senjata rahasianya, dia merasa aman bersama Ary karena laki-laki itu jagi bela diri. Bodohnya dia!“Apa maksud anda dengan tumbal? Memangnya anda tak takut kalau saya akan jadi arwah gentayangan dan menghantui anda,” kata Cahaya menolak untuk memperlihatkan rasa takutnya. Apa mereka orang-orang yang suka menyiksa or