Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi のすべてのチャプター: チャプター 41 - チャプター 50

"Mungkin ramuan rahasia," bisik Mei dengan mata melebar seperti mata kucing di kegelapan."Kau tahu kan beliau pandai mengobati. Kemarin saja Ling yang digigit ular bisa selamat karena ramuan cepat buatannya. Mungkin beliau punya koleksi ramuan ajaib yang tersimpan di tempat rahasia."Suaranya begitu pelan hingga hampir tertelan oleh suara angin, tetapi setiap kata terdengar jelas karena ketiga pelayan itu mendengarkan dengan penuh perhatian.Lin menggeleng perlahan sambil menyandarkan punggung pada batang pohon yang kasar. Kulitnya sedikit tergores kulit kayu, tetapi ia tidak peduli."Menurutku bukan ramuan. Bisa saja benda pusaka keluarga jenderal. Bangsawan selalu menyimpan warisan yang tidak boleh sembarangan dilihat orang biasa."Matanya menatap jauh ke arah kamar Elena yang tertutup rapat, seolah mencoba menembus dinding untuk melihat apa yang tersembunyi di dalamnya."Harta karun?" Hua hampir melompat kecil, wajahnya berseri seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah."Atau p

Malam telah tiba dan kamar Elena berubah menjadi panggung yang memukau, seolah ruangan sederhana itu disulap menjadi tempat suci yang penuh misteri.Puluhan lilin kecil dinyalakan dan ditempatkan di berbagai sudut ruangan dengan posisi yang diperhitungkan, menciptakan cahaya yang terang namun hangat seperti sinar bulan purnama. Api-api kecil itu berkedip lembut, menimbulkan bayangan yang bergerak di dinding kayu tua.Lampion kertas berwarna merah dan kuning digantung di langit-langit rendah dengan tali halus, memberikan nuansa pesta yang meriah namun sakral. Warna-warna cerah itu memantulkan cahaya lilin, menciptakan permainan warna yang mempesona dan membuat ruangan tampak lebih luas dari ukuran sebenarnya.Dupa cendana dibakar dalam mangkuk kecil dari tanah liat, mengeluarkan aroma halus yang memenuhi udara dan menciptakan atmosfer mistis yang kental.Asap tipis mengepul perlahan dalam garis-garis lurus, kemudian menyebar ke seluruh ruangan, menambah kesan dramatis pada tempat yang

Sinar matahari pagi menyusup melalui kisi-kisi bambu yang sudah usang, menciptakan garis-garis cahaya tipis di lantai kayu kompleks barat. Udara masih terasa sejuk dengan embun yang belum sepenuhnya menguap, namun ada kehangatan aneh yang mulai menyebar di antara para pelayan.Sejak pameran malam yang mengejutkan itu, atmosfer di kompleks barat berubah total. Para pelayan bergerak dengan langkah yang sedikit berbeda, mata mereka sesekali melirik ke arah kamar Elena dengan campuran rasa penasaran dan malu yang belum sepenuhnya hilang.Keributan halus dimulai sejak fajar. Di dekat sumur tua yang batu-batunya sudah berlumut hijau, Mei dan Lin berbisik sambil mengambil air untuk keperluan cuci."Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat semalam," gumam Mei sambil menuangkan air ke dalam ember dengan gerakan yang agak canggung. Air berciprat sedikit karena tangannya masih gemetar mengingat kejadian semalam."Bagaimana mungkin tubuh wanita bisa berubah seperti itu hanya dengan sepoton

Dan dalam cahaya lilin yang berkedip lembut, dengan pintu tertutup rapat dan dunia luar yang sudah sunyi, Karmila mulai menceritakan rasa sakit yang telah lama disimpannya.Sementara Elena mendengarkan dengan sabar, senyum tipis bermain di sudut bibirnya. Rencana besar sudah dimulai, dan langkah pertama telah berhasil.Cahaya lilin berkedip lembut di atas meja kayu, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan di dinding kamar sederhana Elena. Aroma dupa cendana yang tipis memenuhi udara, memberikan kesan tenang dan sakral pada ruangan kecil itu.Karmila duduk di kursi dengan postur tubuh yang kaku, tangannya masih meremas ujung lengan hanfu abu-abunya. Air mata yang tadi berkumpul di sudut matanya kini mulai mengalir perlahan, membasahi pipi yang pucat."Sudah lima tahun kami menikah," bisik Karmila dengan suara yang bergetar. "Lima tahun aku minum berbagai ramuan yang dicampur suamiku. Ramuan penggemuk, ramuan penambah nafsu makan, ramuan untuk mempercantik kulit."Elena mendengarkan

Senja merayap perlahan di balik jendela kisi bambu yang sudah usang, mewarnai ruang kerja Tabib Handoko dengan cahaya jingga keemasan yang menerobos celah-celah sempit. Aroma herbal kering memenuhi udara, bercampur dengan bau kayu tua dan asap tipis dari tungku kecil yang menyala redup di sudut ruangan.Karmila berdiri di ambang pintu dengan napas yang tertahan. Tangannya meremas ujung lengan hanfu abu-abunya hingga kain itu kusut, mencerminkan kegugupan yang sudah menggerogoti sejak pagi tadi. Di dalam ruangan, Tabib Handoko duduk di hadapan meja panjang yang dipenuhi botol-botol kaca berisi cairan berwarna-warni, tumpukan daun kering, akar-akaran yang sudah dikeringkan, dan berbagai ramuan yang baunya menyengat.Suaminya itu sedang meracik sesuatu dengan gerakan yang terukur, tangannya yang kurus namun percaya diri menuangkan bubuk hijau ke dalam mangkuk tanah liat. Cahaya senja membuat bayangan panjang di wajahnya yang keriput, menegaskan garis-garis keseriusannya."Handoko," pangg