Todos os capítulos de Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi: Capítulo 61 - Capítulo 70

Sore menjelang malam di distrik hiburan terasa berbeda dari bagian kota lainnya. Udara dipenuhi aroma dupa yang bercampur dengan parfum mahal, menciptakan atmosfer yang memabukkan namun juga sedikit menyesakkan.Lampion merah bergantungan di sepanjang jalan, bergoyang pelan tertiup angin sore yang mulai mendingin.Musik lembut terdengar dari berbagai rumah hiburan yang berjejer rapi. Bunyi kecapi, suling, dan nyanyian merdu bercampur menjadi simfoni yang aneh namun menarik.Tawa-tawa pria bangsawan terdengar dari balik pintu-pintu kayu yang tertutup rapat, bercampur dengan suara lembut para pramuria yang melayani.Elena dan Ratmi berdiri di ujung jalan, mengamati bangunan megah yang berdiri paling menonjol di antara semua paviliun lainnya. Paviliun Bunga Teratai.Bangunan tiga lantai dengan atap genteng hijau yang berkilat, dinding yang dicat dengan warna krem keemasan, dan lampion merah yang jumlahnya lebih banyak dari paviliun lain.Ratmi menutup sebagian wajahnya dengan selendang t

Malam semakin gelap di luar jendela Paviliun Bunga Teratai. Suara gaduh tamu yang menunggu pertunjukan terdengar dari lantai bawah, bercampur dengan bunyi gelas yang beradu dan tawa keras yang dipaksakan.Asap dupa melingkar perlahan di udara, menebarkan wangi hangat yang samar dan menusuk hidung, menciptakan suasana antara tenang dan tegang di ruangan itu.Pelayan kecil yang tadi membawa Elena dan Ratmi masuk kini memimpin mereka melalui lorong sempit menuju tangga kayu yang mengarah ke lantai dua. Langkah mereka hati-hati, menghindar dari pandangan pelayan lain yang berlalu lalang membawa nampan berisi wine dan makanan."Di sini," bisik pelayan kecil itu sambil berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran bunga teratai yang rumit. "Kamar pribadi Nona Layla."Ia mengetuk pintu tiga kali dengan pola tertentu, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Setelah menunggu beberapa saat, pelayan kecil itu membuka pintu dengan gerakan yang sangat hati-hati.Kamar

Lorong menuju kamar Layla gelap, hanya diterangi beberapa lampion merah yang sudah meredup. Tirai manik giok bergoyang pelan setiap kali ada pelayan lewat membawa nampan berisi wine kotor.Bau wine basi bercampur dengan keringat dan parfum murah dari kamar-kamar lain menciptakan udara yang pengap. Lantai kayu berderit setiap kali diinjak, sudah lapuk di beberapa bagian.Layla duduk di depan cermin bundar yang sudah kusam di sudutnya. Tangannya menyentuh tulang selangkanya yang menonjol terlalu jelas.Sepuluh jin hilang dalam dua minggu. Gaun panggung favoritnya kini longgar di pinggang, membuat lekuk tubuh yang dulu jadi senjata kini tampak rata."Sialan," umpatnya pelan sambil menatap pantulan dirinya dengan kesal.Pintu terbuka sedikit. Seorang pelayan kecil mengintip dengan wajah penuh gosip segar."Nona Layla, tamu di ruang depan masih bicara soal Camelia," bisiknya sambil masuk tanpa diundang. "Mereka bilang tarian Camelia tadi sore bikin mereka lupa makan."Layla memutar mata. I

"Pulih?" bisiknya dengan nada yang penuh racun."Atau ada sesuatu yang ia sembunyikan?"Pelayan itu mengangguk cepat. Ia mengerti maksud majikannya tanpa perlu banyak kata."Saya akan mencari tahu, Nona," katanya sambil membungkuk.Camelia tersenyum tipis. Senyumnya tidak sampai ke mata. Ia menatap kembali ke arah panggung di mana Layla masih menerima pujian dari para tamu."Bintang lama menyala lagi," bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Maka biarkan malam berikutnya memadamkannya."Ia berbalik dan berjalan menjauh dengan langkah yang tenang tapi penuh ancaman. Suara langkahnya memudar di lorong gelap.Di panggung, Layla tersenyum lebar sambil menerima undangan minum dari beberapa tamu. Tetapi ia menolak dengan halus, mengangkat tangan dengan gerakan yang sudah terlatih bertahun-tahun."Maafkan saya, Tuan-tuan," katanya dengan suara yang lembut tapi tegas. "Saya masih perlu istirahat untuk pertunjukan besok."Para tamu mengangguk meski beberapa tampak kecewa. Layla mem

Elena berbalik. Ia menatap Layla dengan ekspresi yang tenang namun penuh makna."Perang bayangan baru saja dimulai," katanya dengan nada yang dingin. "Camelia pasti sudah curiga. Dia akan mencari tahu apa yang kau sembunyikan."Layla menelan ludah. Tangannya meremas gaun dengan gugup."Kalau begitu kita harus lebih hati-hati," katanya dengan suara yang lebih mantap.Elena tersenyum tipis. Ia berjalan kembali ke tengah ruangan, lalu menatap Layla dengan mata yang penuh perhitungan."Sekarang lanjutkan pelajarannya," katanya dengan nada yang tegas. "Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus menguasai semua ini secepatnya."Layla mengangguk. Ia berdiri, lalu berjalan ke tengah ruangan dengan gerakan yang kembali percaya diri."Baiklah," katanya sambil tersenyum. "Sekarang kita bicara soal sentuhan. Cara menyentuh pria tanpa terlihat terlalu berani tapi cukup untuk membuat mereka tergila-gila."Ia mengambil tangan Elena, lalu meletakkannya di lengannya sendiri. Jari-jari Elena menyentuh kul