Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi のすべてのチャプター: チャプター 21 - チャプター 30

Aula Seleksi berdiri dalam keanggunan yang menekan. Tiang-tiang merah berukir naga menjulang hingga ke langit-langit, mata pahatan mereka seolah mengikuti setiap langkah yang masuk. Lantai batu mengilap memantulkan cahaya lentera emas yang bergoyang lembut, menebarkan bayangan panjang yang bergerak seperti roh yang gelisah.Aroma dupa tipis bercampur dengan parfum Mawar dari Barat yang menyengat, menciptakan perpaduan yang hampir memabukkan namun tidak menyenangkan. Udara terasa berat, seolah ruangan ini telah menyaksikan terlalu banyak air mata dan darah yang tersembunyi.Lima calon selir berbaris dengan postur yang dipelajari bertahun-tahun. Layla berdiri paling depan dengan hanfu sutra biru laut yang berkilau, pin giok di rambutnya menangkap cahaya dengan kemewahan yang menyilaukan.Janet mengenakan kain emas dengan bordir phoenix, setiap benang tampak mahal dan mencolok.Isabela dan Yesica berdampingan, keduanya mengenakan warna-warna gelap yang mencerminkan kekuatan militer ayah

Tatapan Elena menusuk ke kejauhan, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Ada kilatan licik dalam matanya, keyakinan yang membuat bulu kuduk berdiri meski tidak ada yang mengancam secara langsung.Bibi Ratmi mundur selangkah, gemetar melihat perubahan pada Elena yang semakin mengerikan. Namun di balik ketakutan itu, ada rasa kagum pada kecerdikan tuannya yang selalu selangkah lebih maju dari orang lain.Malam semakin larut ketika suara denting lonceng tiba-tiba memecah keheningan.Bunyi logam yang bergema itu bukan tanda waktu biasa, melainkan alarm darurat yang membuat semua orang terbangun dalam sekejap.Suara langkah berlari terdengar dari segala arah. Kasim dan pelayan berlarian di koridor dengan wajah pucat, suara teriakan panik bercampur dengan perintah yang saling tumpang tindih."Ada yang meninggal di paviliun utara!" teriak seorang pelayan sambil berlari melewati kompleks barat."Panggil tabib istana!" sahut kasim lain dengan suara parau.Elena meletakkan

Elena melangkah keluar dari kompleks barat dengan kepala tegak, tidak menunduk seperti yang diminta Mathilda. Langkahnya tenang dan terukur, seolah sedang berjalan-jalan biasa, bukan menuju penghinaan yang sudah disiapkan untuknya.Mathilda berjalan di depan sambil sesekali menoleh ke belakang dengan mata mengejek. "Jangan harap Selir Yesica akan baik padamu. Dia gadis terhormat dari keluarga jenderal, tidak seperti kau yang ayahnya cuma jenderal kecil tidak berpengaruh."Elena tidak merespons, tetapi tangannya mengepal sedikit di sisi tubuhnya. Dalam hatinya, ia menghitung setiap kata hinaan yang dilontarkan Mathilda. Suatu hari nanti, semua kata itu akan kembali pada orang yang mengucapkannya.Koridor istana yang mereka lewati semakin mewah seiring mendekati paviliun para selir. Dinding batu yang polos berganti dengan sutra berwarna-warni, lantai dingin menjadi permadani tebal yang empuk. Aroma dupa dan parfum mahal semakin kuat tercium."Lihat perbedaannya?" kata Mathilda dengan na

Senja mulai merambat ke paviliun Yesica ketika lampion merah yang tergantung di serambi mulai dinyalakan satu per satu oleh pelayan dengan gerakan yang terlatih. Cahaya keemasan memantul pada dinding sutra ungu yang diberi motif burung phoenix, menciptakan pola bayangan yang bergerak mengikuti kedipan api.Aroma dupa cendana bercampur dengan wangi bunga melati segar yang dipetik khusus dari taman istana untuk menghiasi ruangan sang calon selir. Udara hangat pavilun dipenuhi wewangian mewah yang hanya disediakan untuk putri bangsawan tinggi.Yesica duduk di hadapan cermin besar berbingkai ukiran rumit dengan wajah berseri-seri, tangannya yang lembut dan terawat sibuk menyentuh pipi yang halus bagai sutra. Bibir merah alaminya tampak sempurna tanpa perlu pewarna, sementara mata besarnya berkilau dengan kepercayaan diri yang berlebihan.Hanfu sutra biru langit dengan bordir burung phoenix yang berkilau benang emas menempel sempurna di tubuhnya yang ramping. Setiap gerakan yang dilakukann

Tanpa ragu sedikitpun, ia juga mengambil sepotong kue osmantus dan memakannya dengan lahap. Ia mengunyah perlahan untuk menikmati setiap gigitan yang lembut dan manis.Kue itu lembut dan manis di lidah, dengan aroma bunga osmantus yang khas menyebar di mulutnya. Teksturnya sempurna, menunjukkan keahlian juru masak istana yang tidak tertandingi.Mathilda hanya bisa menelan ludah berkali-kali sambil menatap iri. Ia menahan keinginan yang membakar untuk ikut mencicipi kemewahan itu."Mathilda," kata Yesica sambil mengelap sudut bibirnya dengan sapu tangan sutra halus yang berbordir bunga-bunga kecil. "Atur kembali rambutku dan pastikan setiap helai berada di tempatnya.""Aku ingin terlihat sempurna tanpa cacat sedikit pun saat berhadapan dengan Pangeran Surya nanti malam," lanjutnya dengan mata berkilat ambisi. "Ini malam yang akan mengubah hidupku selamanya."Sementara Mathilda sibuk menata rambutnya dengan gerakan hati-hati, Yesica memandang pantulannya di cermin dengan mata yang berki