Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi のすべてのチャプター: チャプター 31 - チャプター 40

Yesica Maharani menelan ludah berkali-kali dengan keras, berusaha membersihkan tenggorokan yang terasa seperti diampelas dengan kertas pasir kasar. Namun sensasi panas dan gatal malah semakin menyebar ke seluruh leher dan dadanya seperti api yang merambat.Mathilda yang berdiri di pinggir ruangan memucat dengan mata terbelalak takut. Tubuhnya bergetar hebat melihat tuannya yang terpuruk dan dipermalukan di hadapan seluruh bangsawan istana yang berpengaruh.Ia tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang mengerikan ini. Tangannya meremas-remas ujung hanfunya sendiri dengan panik, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.Yesica memaksakan diri untuk melanjutkan nyanyian dengan putus asa. Ia berharap dengan sekuat tenaga suaranya akan kembali normal seperti biasa, namun yang keluar malah lebih buruk lagi.Suara serak yang bercampur dengan batuk-batuk kecil membuatnya terdengar seperti gagak yang sekarat. Atau seperti orang tua yang hampir mati karena penyakit te

Suara dingin Selir Wanda masih terngiang di benaknya seperti mantra kutukan yang tidak akan pernah hilang. Mengingatkannya bahwa di istana ini, kesombongan adalah dosa yang paling mahal harganya dan harus dibayar dengan kehancuran total.Malam itu, Yesica Maharani yang dulunya bermimpi menjadi permaisuri yang berkuasa kini hanya bisa menatap langit-langit kotor. Ia merasakan hancurnya seluruh mimpi dan ambisinya yang megah, bersamaan dengan hancurnya suara yang dulunya menjadi kebanggaan dan sumber kepercayaan dirinya.Dalam kegelapan yang mencekam dan menghantui, ia akhirnya memahami kebenaran pahit yang selama ini ia abaikan.Di istana yang kejam dan penuh intrik ini, yang menang bukanlah yang paling cantik atau berbakat, melainkan yang paling licik, kejam, dan pintar dalam bermain strategi politik yang mematikan.Malam itu di kompleks barat terasa beku, angin membawa kabut tipis yang menyelinap melalui celah-celah jendela kayu tua. Udara dingin menusuk tulang, berbeda dengan kehang

Kabut pagi tipis menyelimuti kompleks barat ketika Elena melangkah keluar dari kamarnya. Bunyi sapu halus menyiangi dedaunan kering di halaman bercampur dengan aroma kayu bakar yang mengepul dari dapur pelayan.Gemericik air sumur terdengar berirama ketika ember kayu diangkat turun naik oleh tali yang sudah aus. Udara pagi yang sejuk membawa wangi tanah basah dan rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela batu."Selamat pagi, Nona Elena," sapa seorang pelayan wanita paruh baya sambil menunduk sopan. Suaranya jauh lebih ramah dibanding kemarin, seolah ada sesuatu yang telah berubah dalam semalam."Selamat pagi juga," balas Elena sambil berjalan menuju tempat cucian. Matanya memperhatikan bagaimana pelayan lain menatapnya dengan pandangan yang berbeda, campuran rasa hormat dan rasa ingin tahu.Seorang pelayan muda mendekati dengan langkah hati-hati, membawa sepiring kue wijen yang masih mengepulkan uap hangat. "Nona Elena, tadi dapur membuat kue wijen segar, ambillah satu untuk menghangat

Bibi Ratmi datang dengan membawa kain bersih dan mangkuk air hangat. "Nona, semua sudah siap.""Aku butuh kamar kosong untuk merawatnya," kata Elena sambil menatap sekeliling. "Bilik pelayan yang dekat kebun ini bisa dipakai?""Bisa, Nona," jawab salah satu pelayan. "Ada ruang kosong di ujung lorong.""Ratmi, tolong atur orang-orang, jangan biarkan terlalu banyak yang mengikuti," perintah Elena sambil membantu mengangkat Ling dengan hati-hati. "Korban gigitan ular butuh udara segar, bukan kerumunan."Di dalam bilik yang sederhana, Elena menutup pintu dan memastikan tidak ada yang mengintip. Matanya menatap Ling yang terbaring lemah, kondisinya semakin memburuk.Dengan gerakan yang sangat hati-hati, Elena membuka ruang spasialnya dan mengambil peralatan yang dibutuhkan. Antiseptik bening, kasa steril, perban elastis, alat imobilisasi sederhana, tablet analgesik ringan.Yang paling penting adalah satu vial berisi cairan jernih, antivenom spektrum luas yang bisa menangani berbagai jenis

Ratmi yang berdiri di belakang Elena tampak semakin gelisah, takut situasi akan semakin memburuk. Ia menatap Elena dengan mata memohon agar mereka segera pergi.Tetapi Elena tidak bergeming. Matanya menatap Handoko dengan ketenangan yang mengejutkan, seolah amarah pria itu tidak berpengaruh sedikitpun padanya."Saya tidak datang kemari dengan harapan menjadi tabib dalam semalam," kata Elena dengan suara yang tetap terkendali. "Saya datang untuk belajar, mulai dari yang paling dasar.""Suatu hari nanti, Tabib Handoko akan mengingat kata-kata saya hari ini," lanjutnya sambil menatap mata Handoko dengan mantap. "Ketika saya membuktikan bahwa kemampuan tidak ditentukan oleh jenis kelamin."Handoko tertawa lagi, kali ini lebih keras dan lebih mengejek. "Buktikan? Kau bahkan tidak tahu apa-apa tentang ramuan paling sederhana!""Keluarlah dari sini sebelum aku memanggil penjaga," ancamnya sambil menunjuk ke arah pintu. "Jangan buang-buang waktuku dengan omong kosong tentang wanita bisa jadi