All Chapters of Cinta Yang Tak Pernah Dipilih : Chapter 121 - Chapter 130

Subuh datang pelan, tapi cahaya pagi enggan menyentuh rumah tua itu. Kabut masih menggantung di halaman, seolah enggan pergi sebelum kebenaran di dalam rumah itu diucapkan.Arlan berdiri membeku di ruang tamu. Lelaki tua berjas abu-abu duduk di kursi panjang, tongkatnya tergeletak di lantai. Inayah masih pingsan di lantai, kepalanya bersandar di pangkuan bantal.Suara detik jam terdengar jelas, berdetak dalam keheningan.Lelaki tua itu berbicara pelan, tapi setiap katanya terasa seperti palu yang menghantam dada Arlan.“Kau tumbuh tanpa tahu siapa yang harusnya kaucintai, Arlan. Karena sejak awal, hidupmu dibangun dari kebohongan.”Arlan menatapnya. “Siapa kau sebenarnya? Katakan yang sebenarnya sebelum aku kehilangan akal.”Lelaki itu tersenyum tipis. “Aku ayahmu. Tapi bukan seperti yang kau pikirkan.”Arlan diam. Nafasnya berat. “Ayahku meninggal tiga puluh tahun lalu.”“Ya,” kata lelaki itu, “begitulah yang dikatakan ibumu — karena lebih mudah mengubur nama seseorang daripada mengu

Malam di kota kecil itu terasa panjang. Hujan turun perlahan, seperti membisikkan sesuatu kepada bumi yang kelelahan.Airin terbaring di ranjang sederhana rumah kontrakannya. Di meja kecil di samping tempat tidur, terdapat secangkir teh yang telah dingin, dan di sampingnya, sebuah buku catatan cokelat tua — salinan dari buku yang pernah ia tinggalkan di rumah Arlan.Ia belum berani membukanya lagi.Terlalu banyak kenangan di antara halaman-halamannya — kenangan yang menatap balik dengan luka yang belum kering.Namun malam itu, sesuatu berbeda.Lampu di kamar bergetar pelan, seperti disentuh angin yang tak terlihat. Aroma melati tercium samar, bercampur dengan udara hujan.Airin menoleh pelan ke arah jendela yang sedikit terbuka. Tirai putih bergoyang.Hatinya berdebar tanpa sebab.Lalu, samar—suara lembut itu terdengar.“Airin…”Ia tersentak, bangun duduk. Matanya mencari sumber suara, tapi tak ada siapa pun di sana.Hanya bayangan dirinya sendiri di kaca jendela, menatap balik denga

Baik! Aku akan menulis Bab 125 versi panjang (~10.000 karakter) agar dramatis, emosional, dan menyambung dengan Bab 124 “Rumah yang Pagi datang dengan tenang, tetapi bagi Airin, ketenangan itu hanya topeng. Cahaya lembut menyelinap melalui tirai kamarnya, memantul di lantai kayu yang dingin, seakan menyoroti setiap goresan luka yang tertinggal di hatinya. Rumah itu, yang semalam menyimpan kedua dunia—kenyamanan dan penjara—hari ini terasa semakin berat, seolah menekan dada dan membisikkan rahasia yang tak pernah ia minta untuk tahu.Airin berdiri di jendela, menatap halaman yang tampak tenang. Angin pagi membelai wajahnya, namun tak mampu menenangkan ketegangan yang menjerat hatinya. Ia menutup mata, mencoba mengingat masa kecilnya, ketika dunia masih terasa sederhana, penuh tawa dan harapan. Tapi kini, setiap kenangan yang hadir terasa getir. Pernikahannya kian dekat, dan ia tahu ia bukanlah yang dipilih karena cinta, melainkan sebagai alat penebus sesuatu yang bukan kesalahannya.S

Hari itu, rumah yang dulu menjadi saksi bisu kehidupan Airin kini terasa penuh dengan ketegangan yang hampir tak tertahankan. Pagi yang cerah memantulkan cahaya di lantai kayu, namun sinarnya tak mampu menembus kabut emosi yang menggantung di udara. Semua orang tahu, keputusan Airin untuk menulis takdirnya sendiri akan menimbulkan gelombang yang tak bisa dihindari.Arlan duduk di ruang tamu, kepalanya tertunduk, tangan mengepal. Ia merasa bersalah, marah, dan bingung sekaligus. Ia ingin mematuhi tradisi, menegakkan kehormatan keluarga, namun hatinya menolak berdusta pada perasaan sendiri. Pandangannya melayang ke arah jendela, tempat Airin berdiri beberapa jam lalu, menatap dunia yang menunggu di luar rumah. Ada keberanian di matanya yang membuat Arlan tak mampu berkata-kata.Di dapur, Inayah menatap piring kosong di depannya, hati tersayat oleh perasaan bersalah. Ia tahu, apa yang ia lakukan selama ini—diam, menahan perasaan, menasihati Arlan—tak mampu menghentikan perlawanan Airin.

Langkah Airin di jalan setapak terasa berat sekaligus ringan. Berat karena meninggalkan rumah, keluarga, dan semua yang dikenal, ringan karena untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar bebas. Angin sore membelai wajahnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur, seolah alam menyambut keberaniannya. Fadli berjalan di sisinya, matanya penuh perhatian, senyumnya hangat. Ia tahu, tantangan yang menanti lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan, tapi ia siap berdiri di sisi Airin.Di belakang, rumah yang menjadi saksi dua dunia kini tampak jauh. Airin menatap sekali terakhir, menahan air mata yang hampir jatuh. Rumah itu bukan lagi penjara, tapi simbol awal perlawanan dan keberanian. Setiap detik yang dihabiskan di dalamnya adalah pelajaran, pengingat bahwa hidupnya bukan milik orang lain.Masyarakat sekitar mulai menatap. Bisikan terdengar di antara pagar dan pepohonan: “Itu Airin, gadis yang menolak dijodohkan… pergi begitu saja.” Mata-mata penuh penilaian menempel, tet