Hujan turun deras malam itu, menimpa atap rumah besar yang selama ini menjadi saksi bisu cinta, dendam, dan pengkhianatan. Langit seolah mengamuk, seperti ikut menyuarakan amarah yang selama ini tertahan di dada manusia-manusia di dalam rumah itu. Suara langkah kaki terdengar dari halaman depan. Payung kecil berwarna abu-abu terbuka, meneteskan sisa air di teras. Airin berdiri di sana—basah, gemetar, dan lelah. Matanya merah, bukan hanya karena hujan, tetapi karena air mata yang entah keberapa kali jatuh tanpa arti. Ia memandang pintu rumah itu lama, lalu menarik napas panjang. “Aku kembali, bukan untuk memohon maaf… tapi untuk menutup semuanya,” gumamnya lirih. Tangannya bergetar saat mengetuk pintu. Hanya tiga kali, tapi cukup untuk membuat seisi rumah terdiam. Dari dalam, suara langkah pelan terdengar—suara itu masih sama, suara yang dulu membuat jantung Airin berdebar sekaligus hancur. Arlan membuka pintu. Ia tampak lebih tua, wajahnya kusut, mata sayunya memendam lelah
Last Updated : 2025-10-09 Read more