Semuanya gelap.Ketika lampu padam, hanya ada napas—terputus, tercekat, dan penuh ketakutan. Angin menerobos dari jendela, membawa wangi melati dan dingin kematian yang menggigilkan kulit.Airin meraba-raba tangan Inayah, menggenggam erat.“Dia… dia siapa, Nay?” suaranya bergetar.Inayah tak menjawab. Matanya terpaku ke arah tangga, tempat sosok putih tadi berdiri. Tapi kini sosok itu telah menghilang, menyisakan jejak langkah lembab dan tetesan air yang menuruni anak tangga satu per satu, seperti bekas kaki seseorang yang baru keluar dari dunia lain.Arlan menyalakan ponselnya, cahaya kecil dari layar memantul di wajah mereka yang tegang.Tiba-tiba, cahaya itu menyorot dinding—dan di sana, terpampang tulisan samar seperti goresan jari yang terbakar:“Aku yang seharusnya menjadi istri… aku yang dikorbankan.”Airin menutup mulutnya, nyaris menjerit. “Itu… tulisan siapa?”Ibu Arlan jatuh terduduk. Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar. “Tuhan… dia kembali…”Arlan menatap ibunya,
Terakhir Diperbarui : 2025-10-10 Baca selengkapnya