All Chapters of Sentuhan Panas Tuan Mafia: Chapter 61 - Chapter 70

Mario benar-benar meregang nyawa. Pandangan Leon, Anne, Adrian, dan Megan masih tertuju pada pria itu yang bersimbah darah. Asap mesiu perlahan lenyap di ruangan, menyisakan bau logam dan darah yang begitu kuat memenuhi udara. Anne masih berdiri di tempat, dengan tubuhnya yang gemetar hebat. Brak!Pistol di tangannya bergetar sebelum akhirnya terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi dentingan nyaring. Tangannya bergetar. Bagaimana pun juga, Anne sudah membunuh Mario.Sesuatu yang selama ini tak pernah ia lakukan sama sekali, meskipun ia dilahirkan dari keluarga mafia besar seperti Klan Vantoria.“A … apa yang sudah aku lakukan?” Bibir Anne bergetar. Wajahnya mendadak pucat, dan tubuhnya lemah.Leon menatap tubuh Mario yang terkapar bersimbah darah dan tak bergerak di hadapan mereka. Adrian turut mendekat dan mencoba memeriksa denyut nadi di leher Mario. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Nafasnya benar-benar sudah berhenti. Leon menarik napas berat, menatap tubuh yang dulu pernah

Hari-hari pun berlalu begitu cepat tanpa terasa. Di villa itu, mereka berenam hidup dengan lebih tenang dari biasanya. Tapi ketenangan itu bukan berarti Leon Dominic berhenti jadi mafia. Ia hanya menata ulang semua jalur kekuasaannya.Kini, ia jadi lebih selektif. Ia memang menutup beberapa jalur kecil yang tidak efisien, tapi inti bisnis gelapnya tetap berjalan, lebih kuat, lebih rapi, dan lebih sulit dilacak.Leon tidak lagi bergerak dengan kekerasan terbuka. Ia beroperasi dengan sistem yang nyaris tak tersentuh hukum.Pasar gelap tetap di tangannya, hanya saja kali ini ia bermain lebih halus, tanpa perlu banyak darah tumpah.Ia memperluas pengaruh ke luar negeri lewat jaringan logistik legal sebagai kedok. Di bawahnya, Jonathan mengatur transaksi senjata, sementara Adrian memegang sektor keuangan dan jalur informasi.Anne tahu semuanya, tapi ia memilih diam. Ia tahu, bagi Leon, dunia seperti ini bukan sekadar kekuasaan, tapi juga sudah jadi bagian dari setengah hidupnya.Suatu sore

Tak terasa malam pun tiba. Malam ini, langit di atas villa berwarna kelabu kebiruan. Kabut tipis turun perlahan dari lereng bukit, menambah kesan misterius di antara taman luas yang dipenuhi cahaya lilin.Villa itu berubah total, seolah bukan lagi markas para mafia, melainkan tempat pesta bangsawan. Lampu-lampu kristal tergantung di taman depan, memantulkan kilau lembut di atas meja-meja berlapis kain putih. Jalur setapak dihiasi kelopak bunga putih yang memandu langkah para tamu.Para tamu undangan datang satu per satu, dan mereka yang datang hanyalah mereka yang benar-benar dipercaya oleh Leon. Relasi bisnis, pengawal senior, beberapa mitra dari luar negeri, dan keluarga dekat anak buahnya. Semua mengenakan topeng elegan yang dibagikan oleh Adrian di luar villa. Sedangkan Jonathan juga turut menyambut tamu.Musik klasik mengalun lembut, menambah aura magis di antara suara percakapan dan gelas anggur yang saling beradu. Sementara itu, di dalam kamar utama villa, Anne duduk di depan

“Roberto Dominic?” Anne memicingkan matanya. Ia masih duduk di seberang Leon, sambil menatap pria itu dengan perasaan iba dan penasaran.Setelah menceritakan sedikit tentang masa lalunya, Leon masih terdiam cukup lama. Suara detak jam dinding menjadi satu-satunya yang terdengar di ruangan itu.“Jadi .…” Anne membuka suara hati-hati. “Nama Dominic yang kau pakai sekarang, itu bukan nama aslimu?”Leon mengangkat pandangannya perlahan. Mata kelamnya menatap kosong, sebelum ia mengangguk pelan.“Bukan. Nama itu diberikan oleh ayah angkatku Roberto Dominic, sesaat setelah dia menyelamatkanku waktu itu.”Anne terdiam beberapa saat. Tubuhnya masih sedikit bergetar. Ia menggeleng pelan, rasanya ia masih tak percaya dengan cerita Leon. Semua itu terlihat seperti sesuatu yang mustahil.“Jadi, kau bukan bagian asli dari Klan Dominic?”Suara Anne terdengar seperti bisikan, tapi cukup membuat hati Leon sedikit bergetar. Leon mengangkat wajah dan tersenyum getir. Ia meneguk susu dari gelasnya dan m

“Orang yang sangat aku kenal? Tapi siapa?” Anne semakin frustasi, semakin kebingungan.“Kelak kau akan tahu sendiri, Anne.” Megan menatap Anne lama, seolah menimbang sesuatu yang berat di dadanya.Cahaya lampu kamar yang remang membuat bayangan wajah mereka jatuh lembut di dinding. Udara malam terasa dingin, tapi ketegangan yang melingkupi ruangan justru terasa hangat dan menekan.“Dan tentang kapan aku masuk ke dunia hitam ini ….” Megan menarik napas pelan. “Ya, aku memang sudah lama berkecimpung di dunia mafia, Anne.”“Apa? Tapi sejak kapan?” Anne terperanjat. Megan tersenyum pahit, matanya sedikit menunduk. Ia memain-mainkan sebuah kunci di tangannya.“Kau ingat pertama kali kita jadi teman kos? Saat itu aku datang dengan koper kecil dan bilang baru pindah dari luar kota?”“Ya. Aku ingat.” Anne mengangguk perlahan.“Itu semua cuma kedok,” lanjut Megan dengan suara lirih. “Sebenarnya, aku memang ditugaskan untuk melindungimu. Aku tinggal bersamamu, dan aku jadi temanmu, semua itu