Semua Bab Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam: Bab 61 - Bab 70

 Reno menggelengkan kepalanya pelan, merasa bahwa ia salah dengar dengan ucapan ibunya. “Menikah lagi? Mama sadar nggak barusan ngomong apa?”Ratna tersenyum tipis. “Sadar. Kalau itu satu-satunya cara, kenapa nggak?”Reno mengusap tengkuknya, menunduk dalam. Pikirannya berisik, kepalanya berat.“Bayi tabung aja, Ma. Kita bisa minta bantuan Arka. Dia dokter, mungkin tahu tempat atau klinik yang tepat—”“Nggak,” potong Ratna cepat.“Kenapa nggak? Bukannya itu lebih baik daripada—”“Karena itu mahal, Reno!” Ratna berdiri, suaranya meninggi. “Bayi tabung itu bukan seperti beli obat di apotek! Kamu tahu berapa biayanya? Puluhan bahkan ratusan juta! Dan kalau gagal? Semua uang itu akan lenyap begitu saja!”Reno memijit pelipisnya. “Jadi cuma itu alasan Mama? Uang? Ah, ayolah, Ma! Kita ini bukan orang miskin. Biaya bayi tabung b

Ratna menatap tidak suka dengan pertanyaan Sasha. “Berani kamu menjawab ucapanku dengan nada seperti itu, Sasha?!”Sasha mengangkat sudut bibirnya dengan samar. Ingin ia terus mengedepankan rasa hormatnya untuk mertua dan juga suaminya. Namun saat melihat bagaimana acuhya Reno, dan bagaimana tajamnya ucapan Ratna, Sasha semakin mengeraskan hatinya, meski ia tetap berusaha sopan saat bicara.“Maaf kalau Mama tersinggung. Tapi aku mau mempermudah semuanya saja. Apa yang Mama mau sekarang dariku? Aku sudah berusaha agar bisa menjadi seorang ibu dan punya keturunan. Aku sudah melakukan terapi dan konsultasi pada dokter Arka sesuai dengan arahan Mama, aku sudah berusah—”Belum sempat Sasha menyelesaikan kalimatnya, Ratna lebih dulu menyela dan kali ini kalimatnya jauh lebih menyakitkan.“Berhenti, Sasha! Aku muak mendengar alasanmu. Setiap kali ditanya soal keturunan, kamu selalu bicara soal usaha, soal terapi, soal waktu. T

 Malam itu, kediaman keluarga Wiratama tampak tenang dari luar, tapi di dalamnya, ada badai kecil yang mulai bergerak. Entah untuk menghancurkan, atau bahkan membangun hal baru yang jauh lebih besar.Arka turun dari lantai dua dengan langkah cepat, mengenakan setelan jas kebesarannya dan membawa tas praktik hitam di tangan. Wajahnya tegas, tanpa ekspresi. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mendesak di balik kacamata yang bertengger manis di hidungnya.“Tuan, mau pergi ke klinik atau ke rumah sakit? Kelihatannya buru-buru?” sapa Elin, yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan teh.Namun Arka hanya melirik sekilas tanpa menjawab. Tatapan dingin itu cukup membuat Elin menelan kembali rasa ingin tahunya.Langkah Arka semakin cepat, melewati lorong panjang menuju garasi. Pintu mobil hitamnya terbuka dengan bunyi lembut, lalu ia masuk tanpa sepatah kata pun. Dalam hitungan detik, suara mesin terdengar dan mobil itu melu

Sasha terpaku. Matanya membesar menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan singkat itu. Kebakaran? Reno terserempet mobil? Dan entah nomor siapa yang meminta Arka pulang?Untuk sesaat, napasnya seolah berhenti. Ada rasa terkejut yang cukup besar, tapi entah kenapa, tidak sepenuhnya karena berita itu. Jemarinya gemetar, antara takut dan bingung harus bersyukur atau tidak. Ia menatap layar itu lama, sebelum buru-buru ingin meletakkannya di meja. Namun, baru saja ia hendak menurunkannya—Klik.Pintu rumah dibuka dan ditutup bergantian, membuat Sasha seketika menoleh dan mendapati Arka yang sudah kembali.“Sha?” Suara berat itu membuat darahnya serasa berhenti mengalir. Ia refleks memutar tubuh, hampir menjatuhkan ponsel dari tangannya.Arka yang melihat Sasha tampak gugup, seketika mengernyitkan kening. “Kamu kenapa gugup gitu? Ada apa?” tanya Arka, berjalan mendekat ke arah Sasha untuk memastikan wanitanya sama sekali sedang tidak ada amsalah.“Aku … ma-maaf. A-aku … aku ngg

Arka tampak sibuk menyiapkan sarapan untuk Sasha, setelah beberapa saat lalu ia berjibaku dengan bahan masakan dan peralatan dapur."Arka," panggil Sasha, begitu ia tiba di dapur dan melihat Arka yang tengah sibuk dan baru saja melepas apronnya."Sudah bangun?"Sasha mengangguk. "Maaf, aku tidurnya kebablasan. Jadinya kamu—""Nggak apa-apa, Sha. Kalau masih ngantuk, nanti tidur lagi aja. Tapi sebelum itu, kamu sarapan dulu biar nggak tidur dengan perut yang keroncongan," sela Arka cepat, tanpa membiarkan Sasha menyelesaikan kalimatnya.Sasha tersenyum tipis, tapi juga merasa canggung sebab ini pertama kalinya ia bangun kesiangan.Biasanya, ia adalah orang yang paling pertama bangun. Menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan dari semua orang yang ada di rumah. Tapi sekarang? Dia seperti seorang nyonya besar."Kamu jadi kerepotan, Arka. Seharusnya, aku yang bikin sarapan buat kamu dan siapin semuanya."Arka hanya tersenyum tipis, membantu Sasha duduk di kursi meja makan, dan mengusap punc