Semua Bab Hatiku direbut Berondong: Bab 21 - Bab 30

Di sampingku, Arga menggenggam tanganku. Matanya menatap lurus, penuh keyakinan yang justru semakin membuatku tercekat. Kalimatnya menamparku dengan lembut, membuat air mataku hampir tumpah. Aku buru-buru menoleh ke luar jendela, menyembunyikan wajahku. “Arga… aku takut. Semakin kita melawan, semakin dia tidak berhenti. Kau lihat sendiri, setiap kali kita mencoba menata, Rian selalu datang dengan serangan baru."Arga menggenggam tanganku. “Itu sebabnya aku mau segera melamarmu, Kak. Biar semua orang tahu arah kita jelas. Kalau kita resmi mengikat janji, orang akan berhenti meragukan. Aku tidak peduli Rian mau mengamuk atau membuat fitnah baru. Aku tidak akan membiarkan Rian yang menentukan hidup kita.”Aku tertegun beberapa detik, di balik umurnya yang masih begitu muda Arga justru terlihat begitu mempesona. Ia melakukannya bukan hanya sekedar meredakan fitnah yang menyebar, tapi karena ia benar-benar ingin menjadikanku bagian dari hidupnya.Sejak hari itu, Arga semakin serius mengat

Aku membeku, menutup mulutku. Aku tak percaya dengan apa yang telah Rian lakukan. Arga, yang selalu kukenal sebagai sosok kuat dan bangga dengan keluarganya, kini harus menghadapi kenyataan bahwa nama baik mereka tercabik-cabik di depan umum karena ulah Rian. Rian menunduk, suaranya penuh sesal. “Aku minta maaf… Aku hanya ingin kalian merasakan sakit yang sama. Tapi aku akui aku salah. Aku terlalu jauh…” Arga menarik kerah baju Rian, urat wajahnya tampak begitu jelas. “Terlalu jauh? Kau sudah menghancurkan keluargaku, Rian! Kau sudah membuat ibuku menangis, membuat semua orang memandang kami hina! Bagaimana kau bisa bilang itu hanya ‘terlalu jauh’?!” Aku meraih tangannya, mencoba menenangkannya. “Arga…” Tapi matanya merah, penuh amarah bercampur luka. Rian bangkit, wajahnya penuh penyesalan. “Aku akan bertanggung jawab. Aku akan mencari cara agar ini selesai. Aku akan menarik semua ucapanku. ” “Sudah terlambat!” potong Arga keras. Suaranya menggema di kafe, membuat beberap

Pagi ini matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Aku bangun lebih pagi, pundakku terasa lebih ringan.Telepon di atas tempat tidurku berdering, di layar aku melihat nama Arga. ”Assalamu'alaikum, ada apa Ga? ” Dari seberang terdengar semangat Arga yang menggebu, "Kak, hari ini papa mau ke POLRES. Papa mau kita ikut pergi. Biar kakak juga lebih lega kalau dengar langsung kan? ”Aku mengangguk meski Arga tak melihat.”Iya, aku mau ikut! "Siang jtu, aku, Arga dan ayahnya meluncur menuju POLRES. Kami melangkah masuk ke kantor polisi. Tercium aroma khas pada ruangan itu, perpaduan antara kertas, tinta, dan sedikit ketegangan yang tak kasat mata.Seorang perwira muda menyambut kami, lalu mengantar ke sebuah ruangan. Di balik meja duduk seorang penyidik berwajah serius, namun sikapnya ramah. Ia langsung berdiri ketika melihat Ayah Arga.“Selamat pagi, Dokter Faruq. Silakan duduk. Ini anak pak dokter, ya?” matanya menoleh ke arahku dan Arga.Ayah Arga menjawab singkat, “Iya, mereka juga

Langit Medan masih pucat, udara masih lembap dengan sisa embun di dedaunan. Aku berdiri di depan cermin kamar nenek, merapikan kemeja putih sederhana yang sudah kusetrika semalam.Perlahan, kusisir rambut dengan jari tangan. Rasanya kasar, tapi aku biarkan saja. Saat semua helai sudah terkumpul di belakang kepala, aku mulai memutarnya, lalu melingkarkan karet sekali, dua kali, hingga terasa cukup kencang.Aku menatap pantulan diriku di cermin. Wajahku tampak lebih tegas saat rambut sudah terikat rapi. Tidak ada lagi helai yang menutupi pandangan. Ada kesan sederhana, tapi juga memberi sedikit rasa percaya diri.“Aku siap!!!” gumamku sambil merapikan kerah baju.Di meja kecil, ada map biru berisi CV dan fotokopi ijazah SMA-ku. Tanganku sempat bergetar ketika menyelipkan surat lamaran ke dalam map itu. Sudah lama aku tidak menghadapi dunia kerja setelah berhenti karena masalah kemarin. Kini aku harus berani kembali. Nenek masuk sebentar, membawa secangkir teh hangat. “Kau sudah siap,

Sesampainya di depan rumah Arga langsung pulang, tidak mampir karena besok dia ada ulangan dari kampus, hujan juga masih turun begitu deras.Saat aku memasuki rumah, aku mendapati suasana yang tegang menunggu di ruang tamu. Nenek duduk dengan wajah pucat, sementara Ayah tampak gelisah mondar-mandir. Di hadapan mereka, tampak duduk dengan wajah yang tidak bersahabat. Ayah dan Ibu Rian.Langkahku terhenti di depan pintu, jantungku berdegup keras. “Nek… ini kenapa?” tanyaku hati-hati.Ibu Rian menoleh cepat, matanya melihatku penuh dengan kebencian. “Oh, jadi ini anaknya. Bagus.. Kamu datang di waktu yang tepat.”Aku menelan ludah. “Kalau boleh saya tahu, ada apa ya Bu?” Belum sempat aku melangkah maju, Ayah Rian memukul meja dengan keras. “Jangan pura-pura nggak tau! Ayahmu ini sudah menghabiskan uang yang bukan haknya. Mana uang mahar dari Rian yang dulu diberikan ke keluarga kalian? katanya untuk persiapan nikah! Sekarang kalian malah membatalkan pertunangan dan uangnya malah raib en