Vonis Cinta Sang Hakim のすべてのチャプター: チャプター 71 - チャプター 80

Radit terkekeh melihat Lino yang sibuk berlari menghindari Tari. “Baru kali ini aku lihat Lino jadi dirinya sendiri di depan seorang gadis,” katanya geli. Varen mengangguk sambil tersenyum penuh arti. “Ayo, kita bantu mereka supaya bisa berdua. Tari sepertinya benar-benar paham cara menghadapi Lino.” Mayang yang duduk di sandaran sofa hanya menggeleng pelan. “Mereka berdua seperti bocah kecil. " Tak lama kemudian, Lino kembali menghampiri mereka. Nafasnya tersengal, keringat menetes di pelipis. “Nafasku hampir habis sama dia,” katanya terengah-engah sambil menunjuk ke arah Tari yang berdiri dengan tangan di pinggang, menatapnya tajam. “Astaga, tenaganya kuat banget.” Tari mendengus, tapi senyum tipis tak bisa ia tahan. “Lain kali jangan mulai duluan. Aku cuma membalas.” Viona tertawa kecil, memandang mereka berdua. “Sepertinya liburan ini akan ramai, ya.” Radit mengangkat alis. “Kupikir ini malah awal dari kisah baru,” katanya, melirik Lino sekilas. Ucapan itu membu

Keesokan paginya, Viona sudah sibuk di dapur. Sehabis subuh ia langsung menyiapkan nasi goreng untuk semua orang yang ada di vila itu. Varen ikut membantunya. Dia membuat teh di sebuah teko besar. Varen mengaduk-aduk gula supaya larut dalam tehnya. Viona menghampirinya, "Sayang, cobain." katanya sambil menyuapkan sendok yang berisi sedikit nasi goreng. "Kurang garam sedikit sayang." jawab Varen. "Oh oke." Viona mengerti dan langsung menambahkan garam dan menyesuaikan lagi rasanya. Setelah semuanya siap, mereka langsung menata rapi semua hidangan di atas meja. Varen menoleh ke arah depan, "Mereka belum bangun." Viona yang mendengar itu langsung membuka celemek yang dipakainya untuk masak tadi. "Biar aku yang memanggil para gadis lain." ucapnya sambil tersenyum kecil pada suaminya. Varen sempat menarik tangannya, lalu merangkul pinggang Viona dan langsung mencium pipi istrinya dengan gemas. "Hei, dasar. Bagaimana kalau ada yang lihat. " Celoteh Viona. "Biarin." kata

Tari menyunggingkan senyum usil. Ia malah melangkah makin dekat. Lino mundur, lalu berbalik berlari. Tari pun tertawa keras sambil mengejarnya, membawa ular itu tinggi-tinggi seperti trofi. “Tari, buanglah! Jangan main-main dengan itu! Kumohon!” teriak Lino di antara napas terengah dan wajah yang benar-benar pucat. Tak jauh dari mereka, Varen dan Viona yang berjalan santai sudah semakin mendekat. Melihat kedatangan mereka, Tari buru-buru membuang ular itu jauh-jauh dan menahan tawa. Varen sempat melihat Lino yang terengah-engah, wajahnya memerah dan rambutnya berantakan. “Sepertinya seru sekali, ya,” komentar Varen dengan senyum geli. “Kami habis balapan lari,” jawab Tari cepat, pura-pura tenang. Viona hanya tersenyum kecil, sementara Varen mengangguk singkat. Lalu mereka melanjutkan langkahnya. Lino bingung melihat Tari yang langsung membuang ular itu begitu saja saat Viona dan Varen muncul. “Kenapa begitu melihat mereka kau langsung membuangnya?” dengusnya kesal. I

Angin malam itu terasa dingin namun bisa diredam oleh uap api di tungku barbeque yang menyala tenang. Radit sibuk memanggang sambil bercanda dengan Varen dan Lino, sementara para gadis menyiapkan piring dan minuman di meja panjang. Sesekali terdengar tawa kecil dari arah Viona dan Tari yang saling menggoda soal pesta piyama nanti malam. Asap tipis naik bersama aroma daging yang mulai matang. Terdengar samar, percakapan ringan dan tawa pelan dari arah meja. Radit sibuk membolak-balik sate dan jagung bakar. Mayang duduk di kursi kayu, memperhatikan tangannya yang cekatan. Ia tampak diam, tapi matanya sesekali menatap Radit yang terlihat fokus dengan panggangan itu. “Dari tadi diam saja,” ucap Radit tanpa menoleh. Mayang tersenyum kecil. “Aku cuma ingin meliihat caramu memanggang. Ternyata bisa juga serius begitu.” “Kalau bukan aku yang jaga, bisa gosong semua,” jawab Radit santai. Mereka sama-sama tertawa kecil. Beberapa saat hening. Radit akhirnya membuka suara lag

Begitu para lelaki itu keluar, suasana kamar berubah seketika. Mayang langsung mengambil alih suasana. Ia menyalakan musik dari ponselnya, menyambungkannya ke speaker kecil. Dentuman lembut berubah jadi irama ceria. Lagu pop ringan mengalun, membuat kamar itu terasa seperti ruang kecil penuh kebebasan. Mayang dan Tari mulai bernyanyi riang, mengikuti setiap lirik yang keluar. Suara mereka saling tumpang tindih tapi justru membuat suasananya semakin hidup. Sementara itu, Viona masih duduk di tepi ranjang, hanya menepuk-nepukkan tangannya mengikuti irama. Mayang yang melihat itu mendekat dengan senyum lebar. Ia menarik tangan Viona tanpa ampun. “Kak, ayo dong, kita menari juga!” katanya sambil menggoyang-goyangkan kedua tangan Viona yang masih ragu. Viona tertawa, sempat menolak, “Aduh, aku tidak bisa, Mayang Aku sudah tua untuk menari." “Kau menyindirkh?. aku paling tua diantara kalian!” sela Tari sambil ikut menarik satu tangan Viona yang lain. Akhirnya Viona menyerah. Ia berd