“Ra? Raisa, ada apa?” Suara Gendis terdengar panik di seberang telepon. “Kamu di mana? Kamu aman? Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?”Raisa mencoba menenangkan isak tangisnya. Ia bersandar di sofa, menarik selimut tipis untuk menutupi tubuhnya yang masih terasa dingin. “Aku… aku di apartemen, Ndis,” katanya di sela-sela isak tangisnya.“Dia… dia datang ke sana?” tanya Gendis pelan, sudah bisa menebak.Raisa tidak menjawab. Tangisannya sudah menjadi jawaban.“Dia melakukan apa padamu, Ra?” desak Gendis, suaranya terdengar marah dan takut. “Katakan padaku!”“Aku tidak mau membicarakannya, Ndis. Tidak sekarang,” bisik Raisa.Terdengar helaan napas berat dari Gendis. “Sudah, Ra. Sudah, jangan menangis lagi,” katanya, mencoba menenangkan dari jauh. “Dengarkan aku. Kamu aman sekarang, kan? Dia sudah tidak di sana, kan?”“Sudah,” bisik Raisa.“Bagus. Sekarang, dengarkan aku baik-baik,” kata Gendis. “Kamu pergi ke dapur. Buat teh hangat. Pakai gula yang banyak. Lalu minum pelan-pelan. Ka
Dernière mise à jour : 2025-10-16 Read More