All Chapters of Pak Ceo, Aku Ingin Anak: Chapter 51 - Chapter 60

Cahaya matahari pagi sudah sangat terang, menembus tirai kaca kamar utama. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 09.00. Darian Lancaster, seorang pria yang hidup dengan jadwal militer, biasanya sudah berada di kantornya sejak pukul tujuh pagi. Namun, pagi ini berbeda. ​Ia masih terbaring telentang di ranjang sutra, Amara berada dalam dekapan eratnya. Tubuh mereka saling menempel, membagi kehangatan, terbungkus selimut tebal. Darian merasakan aroma Jasmine dari rambut Amara yang menjadi bantalnya. ​Darian perlahan membuka mata, tersenyum kecil. Rasa nyaman yang luar biasa membuatnya enggan untuk membuka mata. Ia melonggarkan pelukannya sedikit, menatap wajah pulas Amara yang dihiasi bulu mata lentik. ​"Sshh... jangan bergerak, Sayang. Aku masih ingin memelukmu," gumam Darian, suaranya serak khas bangun tidur, lalu ia mencium kening Amara. ​Amara terbangun oleh sentuhan itu. Ia merasakan tubuhnya lemas, tetapi entah mengapa, rasa sakitnya yang semalam terasa seperti kenangan yan

​Setelah Darian menerima laporan dari Marco dan memberikan perintah pengiriman logistik ke hutan, suasana penthouse terasa tegang. Darian menginstruksikan Bi Ana menyiapkan makan malam, tetapi ia menciptakan atmosfer yang sepenuhnya didominasi olehnya. ​Darian duduk di kepala meja, piring Beef Wellington mengepul di depannya. Ia menatap Amara yang mengambil kursi terjauh. ​"Kenapa kau duduk di ujung, Amara?" Darian bertanya, suaranya tenang, namun memiliki daya desak yang halus. ​Amara menunduk, merasa terperangkap dengan sikap tenang suami kontraknya. "Maaf, Darian. Saya sudah terbiasa..." ​"Tidak ada lagi 'terbiasa' di sini. Mulai sekarang, kau harus terbiasa duduk di sisiku," Darian bangkit, langkahnya pasti, lalu menarik kursi di sampingnya. "Di sini. Di tempat seorang Istri seharusnya berada. Tidak perlu ada jarak, Sayang." Amara patuh. Ia pindah dan duduk di samping Darian. Kehangatan tubuh Darian terasa dekat, dan aroma cologne-nya yang maskulin segera menyerbu indra

​Darian menarik napas yang sangat kasar di depan pintu kamar utama. Di balik punggungnya, pintu kamar mandi itu terkunci, menyegel Amara yang pucat pasi dan gairah mereka yang terputus dengan kejam. Ia merapikan kemejanya, menyembunyikan kekusutan yang disebabkan oleh ciuman Amara, dan memaksakan seulas senyum profesional. ​Darian membuka pintu itu perlahan, lalu menutupnya kembali. Ia melangkah sebentar, menahan keinginan untuk kembali dan melanjutkan 'pelajaran' mereka. Nyonya Besar Jasmine Lancaster, ibunya, adalah seorang wanita yang elegan dan berkuasa, sedangkan Grace Adhiyaksa, teman masa kecil Darian, sekaligus putri dari teman Papanya. ​Nyonya Besar Jasmine Lancaster dan Grace Adhiyaksa sudah berdiri, raut wajah mereka menunjukkan perpaduan antara kekhawatiran dan rasa ingin tahu. ​"Kau ini, Darian!" Jasmine langsung menyambutnya dengan nada frustrasi yang khas. "Katanya pulang sebentar karena ada urusan mendesak, tapi kenapa tidak kembali lagi ke rumah, hmm? Papamu me

​Darian berdiri di depan pintu kamar mandi, jantungnya masih berdetak cepat akibat perpaduan antara adrenalin kemarahan, gairah yang terpotong, dan kepanikan menghadapi ibunya. Ia merapikan sekali lagi kerah kemejanya, memastikan tidak ada lagi sisa-sisa adegan yang baru saja terjadi.​Ia mengangkat tangan, mengetuk pintu perlahan. "Amara, ini aku. Semuanya aman. Mereka sudah pergi."​Beberapa detik berlalu, hanya ada keheningan di balik pintu. Darian mengetuk lagi, sedikit lebih keras. "Amara, sungguh. Kau aman. Aku sudah menyuruh mereka pulang. Buka pintunya."​Sejenak kemudian, kunci pintu terdengar diputar perlahan. Amara membuka pintu, tubuhnya masih terbungkus gaun sutra yang tadi ia pungut, wajahnya masih pucat pasi. Matanya yang indah terlihat bengkak, sisa ketakutan yang menumpuk.​"Maaf, Darian," bisiknya, suaranya parau. "Aku kira tadi... bukan dirimu. Aku masih terkejut."​Darian menghela napas lega. Ia melangkah mendekat, mengelus pipi Amara perlahan, merasakan dinginnya

​Darian tidak membuang waktu. Setelah membersihkan diri dengan cepat, ia keluar dari kamar utama mengenakan kemeja sutra biru navy yang mengilat, hanya dimasukkan sebelah sisi ke dalam celana chino gelapnya. Kerahnya terbuka, memperlihatkan otot leher dan dada, kombinasi yang memancarkan kekuasaan yang santai namun mematikan.​​Darian berjalan santai menuju ruang makan. Ia melihat Amara sudah duduk di salah satu kursi, sibuk pura-pura mengatur sendok dan garpu, ditemani Bi Ana yang bolak-balik membawa hidangan.​​"Bi Ana, sekarang kau boleh beristirahat. Jangan diganggu sampai aku memanggilmu," perintah Darian, nadanya datar namun tak terbantahkan.​Bi Ana mengangguk cepat, menyadari ketegangan antara pasangan itu. "Baik, Tuan Darian. Nona Amara, jika perlu apa-apa, panggil saja saya." Bi Ana segera menghilang ke area dapur yang lebih tersembunyi.​Darian menarik kursi di seberang Amara, mencondongkan tubuh ke depan. "Kita harus menyelesaikan pembicaraan kita, Amara."​Amara menghinda