All Chapters of Reinkarnasi Dewa Perang: Chapter 41 - Chapter 50

Setelah lebih dari seminggu berlatih tanpa henti, Angkara merasa ada kemajuan, tetapi bukan secepat yang diharapkannya. Perkembangannya lambat, tidak setajam ambisinya. Pada titik itu ia memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Anantaka. Mereka memilih tempat yang sunyi di dalam gua dekat air terjun, gelap, basah, dan hanya dihiasi gema percikan air. Agar pembicaraan berlangsung serius tanpa gangguan.“Langsung saja tanpa basa-basi. Anantaka, biarkan aku berlatih sendiri. Aku tahu apa yang terbaik untuk mempercepat kemajuan diriku,” kata Angkara lantang, nada suaranya tak memberi ruang untuk tawar-menawar.Anantaka menatapnya dengan dingin, setengah mengejek. “Maksudmu? Dengan membunuh seluruh praktisi yang kau temui di jalan?”Angkara terdiam beberapa detik untuk memilih kata. Ia sadar tidak bisa terlalu blak-blakan, tetapi juga tak ingin berbohong. Akhirnya ia mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya, sebuah peta usang. “Begini saja, aku berikan sesuatu untukmu,” ujarnya. “

Angkara menarik napas panjang, membiarkan udara masuk ke dalam paru-parunya sambil merasakan sensasi hangat yang menempel pada kulitnya. Helaan itu membuat dirinya sadar bahwa sudah begitu lama ia terdiam tanpa pergerakan. “Rasanya tubuhku seakan tidak bergerak selama dua bulan penuh,” gumamnya lirih, meski bibirnya melengkungkan senyum lebar yang sarat dengan makna. “Sekarang, sudah saatnya waktuku untuk membantai gerombolan para budak itu,” ucapnya dengan nada mantap, disertai kilatan tajam pada sorot matanya.Tanpa ragu, ia segera melangkah meninggalkan tempatnya. Tujuannya jelas, mencari lokasi persembunyian budak yang menurut kabar berada di utara Kota Talon, kawasan kumuh yang sudah lama dikenal sebagai tempat tinggal kaum miskin. Namun, dalam perjalanannya ia tersadar bahwa penampilannya yang berdebu dan terlalu mencolok akan menarik perhatian banyak orang. Untuk itu, ia menyusuri sebuah gubuk tua yang reyot dan menemukan sehelai jubah usang, penuh lubang di beberapa bagiann

Angkara menatap Satria dengan rasa penasaran yang begitu jelas terpancar dari sorot matanya. Ia melipat kedua tangannya sambil berkata datar, “Jauh sekali kau dari dataran tengah, sampai bisa muncul di dataran timur seperti ini. Sebenarnya ada urusan apa?”Satria mengernyitkan dahinya, wajahnya sedikit menegang. “Aku dijebak…”“Dijebak?” Angkara mengulang kata itu dengan nada curiga, seolah ingin memastikan.“Benar,” jawab Satria singkat.Mendengar itu, Angkara menendang mayat yang tergeletak di depannya dengan keras. Suara dentuman tubuh yang tak bernyawa itu terdengar memenuhi ruangan. “Oleh bajingan ini kah?” tanyanya, tatapannya menajam.Satria menoleh pada mayat tersebut, lalu menghela napas. “Bisa dibilang begitu. Tapi dia bukanlah dalang utama dari penculikanku.”Mendengar penjelasan itu, Angkara terkekeh kecil, nada suaranya terkesan meledek. “Orang sepertimu bisa diculik? Hah! Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu? Maksudku, lihatlah tubuhmu itu, sungguh tak menarik jika

Di bagian timur kota Talon, dua sosok tengah mengobrak-abrik sebuah lokasi tersembunyi yang berada di balik rimbunan perkebunan. Suasana di tempat itu kacau balau. Seorang pria bertubuh kekar, tubuhnya penuh bercak darah, terlihat menggila. Dengan pedang yang terus terayun, ia menebas siapa pun yang berani menghadangnya. Setiap tebasannya mengakhiri nyawa, seolah dirinya adalah badai merah yang melahap seluruh penghalang.Di sisi lain, seorang pria berjubah yang juga berlumuran noda darah berdiri tegap. Kedua tangannya basah oleh darah musuh-musuh yang sebelumnya berusaha melawan. Dialah Angkara, sosok yang dingin dan penuh ketenangan, kontras dengan Satria yang bertindak beringas.“Huft… di mana para budaknya?” tanya Satria dengan suara berat, sembari menyapu pandangan ke setiap sudut. Ia tampak mencari sesuatu, para budak yang harus mereka bebaskan.Angkara mengibaskan lengan bajunya, membuat darah menetes dan berceceran ke tanah. “Entahlah. Mari kita masuk lebih dalam terlebih dah

Angkara segera merobek salah satu sisi pakaian perguruan Arus Hening yang masih melekat di tubuhnya. Dengan cepat ia melilitkan potongan kain itu pada pahanya, menekan luka dalam yang terus mengucurkan darah. Setidaknya, balutan itu bisa memperlambat keluarnya darah, agar dirinya tidak kehilangan tenaga terlalu cepat.Di sisi lain, Satria yang sempat berada dalam mode mengamuk mulai tersadar. Matanya perlahan kembali normal, tubuhnya mengecil, dan urat-urat yang semula menonjol kini mereda. Nafasnya memburu, dada naik turun tak beraturan, keringat bercucuran dari pelipisnya. Ia terlihat kelelahan, namun matanya masih menyala penuh semangat.“Dia belum juga tumbang?” ucap Satria terengah, menatap Elan yang berdiri tak jauh dari mereka. Meski dadanya bolong ditembus cakar Angkara, sosok bangsawan itu masih berdiri tegak. Tubuhnya memang berlumuran darah, tetapi sorot matanya sama sekali belum menyerah.Angkara hanya menggeleng pelan, pandangannya tajam. “Pertarungan ini baru saja dimu