All Chapters of Reinkarnasi Dewa Perang: Chapter 51 - Chapter 60

Tiga hari telah berlalu sejak kabar kematian Elan, salah satu tokoh penting dalam keluarga bangsawan kelas satu di Kota Talon. Namun, berita duka itu masih mereka sembunyikan rapat-rapat. Hanya Kaisar, segelintir penjaga setia, dan si pembawa kabar yang mengetahuinya. Bagi keluarga besar itu, menutup-nutupi kebenaran dianggap sebagai langkah paling bijak, sebab sekali kabar menyebar, kehormatan dan stabilitas mereka bisa runtuh seketika. Meski begitu, takdir selalu punya cara untuk membuka tirai rahasia, cepat atau lambat.Di pusat alun-alun kota, riuh rendah kehidupan berjalan seperti biasa. Pedagang berteriak menawarkan dagangannya, anak-anak berlari kecil bermain di sekitar air mancur, dan para musafir datang serta pergi silih berganti. Namun, di tengah kesibukan itu, beberapa warga memperhatikan sesuatu yang berbeda.“Hey, apa kau sadar? Belakangan ini semakin banyak orang asing berkeliaran di Talon. Aku tak tahu dari mana asal mereka,” gumam seorang pria paruh baya, sambil men

Satria menyerang bertubi-tubi ke segala arah, tinjunya meledak dengan aura hitam yang mendesak udara di sekitarnya. Angkara sampai harus sedikit menunduk untuk menghindari hempasan serangan brutal itu. Dalam hati ia mengumpat, “Bajingan gila!”Orang-orang yang mengepung mereka berdua hanyalah dianggap kroco. Pukulan Satria terlalu cepat dan penuh tenaga, sehingga para praktisi bela diri di kediaman itu tak mampu bertahan. Beberapa terpental keras menabrak dinding, sebagian lainnya seketika hancur tubuhnya, daging mereka bercipratan memenuhi lantai.Dalam hitungan detik, halaman kediaman bangsawan itu berubah menjadi ladang pembantaian. Angkara hanya berdiri di sisi lain, tak ingin repot turun tangan. Baginya, tujuan utamanya hanyalah menemukan bocah yang dicarinya. Satria boleh saja mengamuk, itu bukan urusannya, ia hanya akan turun tangan bila benar-benar perlu.Tiba-tiba seorang pria bersenjata melesat ke arah Angkara dengan pedang terhunus. Namun dengan sekali langkah ringan, An

Karena perintah Anantaka, mereka semua sudah merapikan barang-barangnya dan meninggalkan tempat latihan di bawah air terjun. Rombongan bersiap menuju perjalanan panjang, sementara Angkara harus menerima kenyataan, ia kini membawa seorang bocah kecil yang justru membuat kepalanya pening.Bima, bocah itu, ternyata punya nafsu makan yang tak masuk akal. Sejak tadi ia terus melahap makanan di lantai penginapan, hingga kantong koin Angkara semakin menipis.“Hey, bocah! Apa kau tidak bisa menahan laparmu barang sebentar?!” hardik Angkara, wajahnya sudah lelah.Bima masih sibuk mengunyah roti besar yang dibelikan Angkara. “Diamlah! Aku memang lapar sekali. Lagian kau penipu! Kau janji membawaku pulang ke dunia bawah, tapi sampai sekarang bohong semua!”Nada Bima kali ini jauh berbeda dibanding saat dulu ia memohon bantuan Angkara. Kini sikapnya penuh protes dan tak segan-segan menyalahkan.Kinasih yang duduk di kursi dekat jendela hanya menutup mulut sambil tersenyum geli, seolah menyaksika

Selama lebih dari tiga hari, Angkara terus memegang kendali atas kereta kuda yang membawa rombongan mereka. Meski di kehidupan sebelumnya ia pernah menjadi seorang bangsawan sekaligus dewa perang, ternyata pengalaman sebagai pengendara kereta bukanlah hal asing baginya. Ia mampu menahan kendali, menjaga laju, serta memastikan rombongan tetap berada di jalur perjalanan. Namun, ada satu hal yang paling ia benci dalam tugas itu, kebosanan yang menghampiri tanpa henti.Selama memegang tali kekang, ia tidak dapat bermeditasi, mengolah tenaga dalam, atau sekadar berlatih secara sembunyi-sembunyi. Semua fokusnya harus tercurah hanya pada kuda-kuda yang berlari di depan. Sungguh pekerjaan yang terasa monoton bagi dirinya.Senja berlalu dengan cepat, dan malam pun datang menyelimuti jalanan. Kereta akhirnya berhenti di sebuah desa kecil yang tampak sederhana. Tidak ada penginapan ataupun bangunan yang layak untuk ditempati. Anantaka membuka suara, “Baiklah, kita akan mendirikan kemah di dek

Angkara membuka matanya perlahan, menatap jendela di samping ranjang. Cahaya rembulan masih menggantung tinggi di langit, putih pucat menembus kaca dan memantul di lantai kamar. Itu tandanya, masih ada beberapa jam sebelum fajar menyingsing.Ia bangkit tanpa suara, langsung membersihkan diri dengan gerakan singkat. Setelah mengenakan pakaian perguruan, tubuhnya meluncur keluar jendela dengan keluwesan seorang pemburu malam. Tidak ada satu pun yang menyadari kepergiannya.Dengan aliran tenaga dalam yang terkonsentrasi pada telapak kaki, Angkara melompat dari genteng ke genteng, lalu beralih ke dahan pepohonan yang menjulang. Langkahnya ringan, seolah angin malam sendiri menuntunnya.‘Orang itu pernah berkata… di bagian selatan kekaisaran terdapat reruntuhan kuno. Jika benar kota Sen ini berada di selatan ibu kota, maka petunjuk itu ada di sini.’ Ingatannya kembali pada momen ketika ia mengintrogasi kepala keluarga bangsawan kelas satu di kota Talon, momen yang membuatnya mendapatkan b