Aku berpikir cepat, mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba saja melonjak.“Aduh… gimana ini…” batinku panik.Akhirnya aku tersenyum canggung dan berkata, “Saya lupa, Bu. HP saya juga ada di loker. Gimana ya, Bu?”Livia menatapku lama. Matanya tidak berkedip, dalam, tajam, seolah ingin membaca pikiranku.“Kamu lupa nomornya…” katanya pelan. “Atau kamu memang nggak mau ngasih?”Pertanyaan itu membuat tenggorokanku menegang. Aku berusaha tersenyum meski rasanya kaku.“Beneran, Bu. Saya nggak ingat nomornya. Tapi kalau Bu Livia benar-benar butuh, saya ambil HP-nya sekarang juga.”Livia diam sejenak, lalu menggeleng perlahan.“Tidak usah,” katanya akhirnya. “Nanti saja. Ada hal yang lebih penting yang harus kita bicarakan sekarang.”Aku mengangkat kepala. “Apa itu, Bu?” tanyaku, penasaran.Livia bersandar santai di kursinya, tapi nada suaranya berubah menjadi lebih serius.“Tamu yang akan datang sore ini bukan tamu biasa, Rey. Mereka bukan sekadar VIP.”Aku mengernyit. “Maksud Ib
Terakhir Diperbarui : 2025-11-10 Baca selengkapnya