All Chapters of Pembunuh Dewa Penentang Surga: Chapter 21 - Chapter 30

Pagi tiba. Sebuah kepalsuan yang kejam dan indah. Langit cerah, awan melayang seolah tak bersalah. Namun, matahari itu bersinar di atas sosok-sosok yang baru saja berpesta darah. Di bawah mereka, hanya noda darah kering yang mengerikan menodai rumput pagi. Chen Mo tidak benar-benar bermeditasi. Dia hanya menenangkan pikiran dan jiwanya. Dia tahu dia sedang diawasi. Merasakan kehadiran yang mendekat. Tetapi dia tetap diam, menunggu pihak lain berbicara lebih dulu. Sesosok berjubah hitam melangkah mendekat. Suaranya lembut, halus. Namun dipenuhi kelicikan yang merayapi wajahnya. "Selamat pagi, kalian berdua. Sepertinya kalian baru saja berpesta. Saya hanya ingin menyapa." "Ya, apa yang kau inginkan? Tuanku dan aku sedang berlatih, jangan mengganggu," jawab Mei. Chen Mo tersenyum dalam hati. Akhirnya. Lama sekali kau muncul. Dia membuka matanya. Kilatan gelap dan geli terlihat di sana. "Aku sudah menunggumu cukup lama, 'Yin Yu.' Mau bertanding?" Lidah Yin Yu menjulur,

Kabut hitam menyelimuti hutan tempat Chen Mo (Ao Man) terbaring tak sadarkan diri. Mengubah pagi yang seharusnya cerah menjadi suram karena cahaya berjuang untuk menembus. Enam Kutukan maju. Kemarahan kolektif mereka meledak dalam aura yang nyata. Mereka merasakan penderitaan sejati yang dialami Chen Mo. Ironi yang kejam mengingat dia sama sekali tidak menyadari bahwa sosok-sosok kuat ini adalah murid-murid yang pernah dia asuh. Kini tumbuh kuat dan dewasa. Meskipun reuni normal tidak mungkin, mereka mengerti. Alasan mereka tidak mengawasi dari dekat adalah karena pengetahuan mereka bahwa tidak ada yang bisa mendekati Chen Mo saat dia tersegel. Kebenaran pahit ini berakar sejak sejuta tahun yang lalu: Yun Mei telah menyamar. Meminimalkan kekuatannya sehingga bawahan setia Chen Mo tidak pernah tahu identitas aslinya. Sungguh ironis. Karena pedang segel, para Kutukan tidak bisa mendekatinya secara langsung. Melakukannya akan menyebabkan Chen Mo kehilangan jiwan

Pagi itu indah di sebuah desa dekat Kota Zhongyao. Burung-burung kecil bernyanyi dan terbang. Seolah berpadu suara menyambut seorang bayi yang diberkati. Jendela rumah terbuka lebar. Membiarkan angin pagi yang sejuk masuk. Li Na tersenyum. Raut wajahnya murni kegembiraan saat dia menyusui bayinya yang mungil. "Minumlah yang banyak, Tian kecil, agar kau cepat besar," bisik Li Na lembut. Dia adalah bunga desa yang paling cantik. Dikenal tidak hanya karena parasnya tetapi juga karena kehangatan hatinya. Pintu depan terbuka. Dan Ji Yuan, sang ayah, masuk. "Li Na, suamimu pulang... Mana Tian kecilku? Ahh, aku lelah sekali," katanya. Meletakkan keranjang kosong di sudut. Dia baru saja kembali dari kota setelah menjual hasil panennya. Dan semua kelelahannya lenyap saat dia melihat senyum istrinya. "Istirahatlah, suamiku. Aku sudah menyiapkan makanan di meja untukmu. Berhenti menatapku!" Li Na terkikik pelan. "Tian kecil, jangan seperti ayahmu; dia nakal."

Malam itu, bulan menemani perjalanan Ji Yuan dan Su Changqing menuju Desa Linpo. Angin menderu melewati pedang terbang mereka. Suara tajam yang membelah udara. "Ji Yuan, apakah desa itu rumahmu?" Suara Su Changqing terbawa oleh embusan angin. "Ya, rumahku ada di sana. Guru, mari kita turun, aku ingin menunjukkan desaku padamu," jawab Ji Yuan dengan semangat tinggi. "Jangan panggil aku Guru, panggil saja aku dengan namaku." Su Changqing mendaratkan pedang terbang di gerbang desa. "Ini gerbang desa kami, Kakak Chang," kata Ji Yuan. Wajahnya berseri-seri dengan bangga saat dia membimbingnya. Su Changqing melihat sekeliling. "Di sini terasa sangat sunyi. Benarkah hanya sedikit orang?" Ji Yuan menjelaskan bahwa desa itu dekat dengan hutan tempat para bandit dan kultivator jahat sering lewat di malam hari. Karena itu, penduduk desa memilih untuk tetap berada di rumah mereka. Su Changqing hanya memberikan senyum tipis dan mengikuti Ji Yuan ke rumahnya di sudut desa. Ji Yuan, deng

Tawa dingin Su Changqing, bagai belati, menusuk telinga polos Ji Tianwei. Itu bergema di udara yang dingin. Mengancam untuk membekukan darah di nadinya. Pedang terbang, yang terasa begitu nyaman dan aman beberapa saat sebelumnya. Kini terasa seperti tunggangan iblis. Su Changqing, pria yang dipujinya sebagai 'orang suci,' perlahan mengungkapkan sifat aslinya. Terjebak di pedang terbang bersamanya, Ji Tianwei membeku, tak berdaya. Semua harapan telah sirna. Namun, dari kedalaman keputusasaannya, muncul keberanian kecil. Memaksanya untuk bertanya, meskipun suaranya bergetar karena air mata yang tertahan. "Ayah... Ibu..." Suaranya bergetar. Air mata yang tertahan mencekik tenggorokannya. "Kenapa kau melakukan ini, kau iblis? Aku sangat kecewa." Ketakutan menyerang hatinya, hanya menyisakan kemampuan untuk memanggil orang tuanya. Su Changqing menatapnya, dingin dan kejam. Dia berjalan mendekat di atas pedangnya. Melintasi kekosongan menusuk di antara mereka. "Oh, Ji Tianw