All Chapters of Dinikahi Pria Seumuran Ayahku: Chapter 11 - Chapter 20

Suasana rumah mendadak berubah mencekam. Teriakan Asri barusan seperti bom yang meledak di tengah pagi yang harusnya penuh semangat. Zeta mematung, tubuhnya kaku seperti patung es. Amir bergerak cepat, menahan tangan mamanya yang sudah hendak maju ke arah Asri dengan wajah merah padam.“Ma, jangan ikut campur!” bisik Amir cepat, wajahnya menegang.“Tapi, Mir—” Rena ingin membantah.“Kalau Mama buka mulut, kita bisa habis. Ingat, jangan sekali-sekali bilang kalau aku anak Mama. Katakan saja aku saudara jauh, orang miskin yang Mama kasihanin. Mengerti?”Rena terpaku, dadanya naik turun menahan emosi. Ia tak pernah melihat putranya setegang ini. Amir menatapnya tajam, seakan meminta sumpah. Akhirnya, dengan helaan napas berat, Rena mengangguk pelan.Preman-preman yang bersama Asri sudah melangkah ke dalam rumah tanpa izin. “Ayo ikut ke kantor polisi!” bentak salah satunya.Zeta gemetar, wajahnya pucat pasi. Amir menepuk punggung istrinya pelan. “Tenang, Ta. Aku ada di sini.”Mereka bert

"Pak, saya mau tanya." "Ya, tanya apa?" Amir duduk di ujung kaki Zeta yang sedang selonjoran di kasur. Gadis itu semangat duduk sambil tersenyum. Amir hanya menatapnwajah polos itu sekilas, lalu membuang pandangan. Pura-puta mengecek jam di dinding."Pacaran itu gimana?" tanya Zeta. Amir mengernyit. "Ngapain kamu nanya pacaran? Kamu udah jadi istri aku." "Ish, kemarin di kelas, ada yang namanya Mulyadi. Dia minta nomor H... ""Terus kamu kasih?" Zeta mendelik saat suara Amir menginggi."Iya, Pak. Dia kan cuma minta nomor HP, ya, saya ada. Kalau dia minta duit, saya gak punya."Amir terkekeh pelan. "Jangan suka kasih nomor sama pria asing yang gak kamu kenal." "Memangnya kenapa? namanya juga temen sekolah, wajar kalau simpen nomor HP nya.""Kamu gak kenal mereka dengan baik.""Kenal, kok, Pak. Namanya Mulyadi. Ada juga namanya Nusron. Ada yang namanya Mita, Ratna, Susi, sama Mustika. Kami satu kelas.""Terus?""Kalau orang minta nomor HP itu tandanya ngajak pacaran bukan? Saya soal

Gelombang besar itu menghantam tubuh mungil Zeta. Ia menjerit histeris, tangannya terangkat-angkat mencari pegangan, tapi yang ada hanya buih ombak. Tubuhnya terseret semakin jauh. Nafasnya tersengal, air asin masuk ke mulut dan hidungnya. Ia berusaha menendang, namun semakin panik semakin lemas.“ZETA!” Suara Raja yang paling dekat terdengar keras. Lelaki itu segera berlari tanpa pikir panjang, melempar kacamata hitamnya ke pasir, lalu menceburkan diri ke laut. Zeta sempat melihat wajah Raja samar di antara cipratan air sebelum tubuhnya ditarik kuat ke permukaan. “Tenang! Pegangan sama saya!” teriak Raja. Gadis itu memeluk lehernya erat, batuk-batuk keras.Amir baru menyadari dari kejauhan. Dari balkon cottage, ia melihat keributan di pantai. Tubuhnya kaku, napas tercekat. “Ya Allah…” desisnya, kakinya seakan lumpuh. Bayangan Shafa kembali menyergap; dulu, ia pernah melihat istrinya hampir terseret arus saat bermain dengan anak-anak. Luka lama itu menekan dadanya.Baru setelah sadar

Gadis itu menunduk, bibirnya bergetar, tapi ia menahan air mata agar tidak jatuh di hadapan Amir. "Baik, Pak, mohon maaf bila Bapak tidak nyaman. Saya tidak akan mengulanginya.""Aku tidak ingin menyakiti kamu, Ta. Tapi kamu jangan berlebihan juga. Aku gak nyaman. Sejak awal aku udah bilang, kita menikah karena aku kasihan sama kamu. Bukan karena cinta dan butuh perhatian dari kamu. Jika kita tidak bisa seperti pasangan suami istri, kita bisa seperti adik kakak atau ayah dan anak. Apalagi kamu masih sangat muda.""Iya, saya gak akan ulangi lagi, Pak. Harusnya memang saya pilihnya sama yang lebih muda, bukan yang tua!" Zeta langsung masuk ke kamarnya tanpa menoleh lagi pada Amir.Malam itu, setelah membersihkan meja, ia masuk kamar dengan dress cantik yang masih melekat. Meninggalkan Amir yang masih menonton televisi. Tubuh gadis itu akhirnya rebah di kasur, air mata mengalir diam-diam sampai ia tertidur."Perutku kenyang, tapi hatiku sepi."Amir yang masih bermain ponsel di ruang ta

Kasir toko itu tampak ragu ketika menatap Asri yang menuduh dengan suara lantang. Para pengunjung lain mulai menoleh, beberapa bahkan berbisik-bisik. Zeta ingin menangis rasanya. Wajahnya panas, seolah-olah semua mata menuduh dirinya pencuri."Mbak, periksa saja! Jangan-jangan mereka sudah masukin barang ke kantong tanpa bayar," desak Asri lagi, tangannya berkacak pinggang.Amir mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Rasa malu bercampur amarah menyengat dada. Ia tahu Asri selalu memperlakukan Zeta seperti sampah, tapi tidak menyangka wanita itu bisa serendah ini-mempermalukan istrinya di depan umum.Dengan wajah kaku, karyawan toko itu mendekati mereka. "Mohon maaf, Pak, Bu... boleh saya periksa sebentar kantong belanjaannya?" suaranya terdengar sungkan.Zeta menunduk, lalu menyerahkan kantong kresek yang berisi pakaian barunya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya mati-matian. Amir berdiri di sisinya, rahangnya mengeras. Ia tidak menyangka ibu tiri Yasmin selicik ini, pantesan