“Shafa, tolong jangan salah paham,” katanya dengan nada tenang, tapi jelas gugup. “Aku cuma minta Zeta bantu ngeluarin angin. Badanku pegal banget.”Shafa tertawa pendek, sinis. “Kerikan? Di kamar, malam-malam, pintu ditutup rapat? Kamu pikir aku bodoh?”Zeta menunduk dalam, suaranya kecil. “Maaf, Bu. Saya gak ada maksud apa-apa. Pak Amir yang—”“Diam kamu!” bentak Shafa tiba-tiba. Tatapannya menusuk, penuh amarah dan luka yang belum sembuh. “Kamu pikir aku gak tahu cara perempuan-perempuan seperti kamu ngambil hati laki-laki? Pertama, pura-pura polos. Kedua, pura-pura gak ngerti. Ketiga, kasih sentuhan.”Zeta menggeleng cepat, matanya memanas. “Saya gak seperti itu, Bu. Saya cuma bantu.”“Sudah, Shafa!” suara Amir meninggi, nadanya tegas kali ini. “Jangan bentak dia!”Hening. Shafa tertegun sejenak mendengar bentakan itu. Sesuatu di dadanya serasa retak — mungkin karena selama ini Amir jarang sekali meninggikan suara padanya. Apalagi demi orang lain.Ia menatap Amir dengan mata berai
Terakhir Diperbarui : 2025-10-14 Baca selengkapnya