All Chapters of MY TOXIC Husband : Chapter 11 - Chapter 20

Quensa menutup mata, merasakan emosi yang menggulung dalam dadanya. "Kenapa aku harus cemburu dan sedih? Mereka memang pasangan kekasih. Salahku sendiri, hadir di antara mereka, jadi orang ketiga yang menciptakan luka. Untuk apa aku harus marah?" gumamnya, tangan gemetar menepuk dadanya yang sesak, menyalahkan diri sendiri hingga napasnya tercekat. Beberapa jam berlalu, tubuh Quensa menggigil hebat di tengah dingin malam. Dalam kesamaran, ia terjaga, mata setengah terbuka menangkap suara asing—suaminya, Aksara, berbicara lewat telepon dengan Mona. Hatinya tercekat, air mata menggenang di sudut mata. Dengan langkah goyah dan tubuh bergetar, ia mendekati Aksara yang tengah bersiap pergi. "Aksara... aku demam. Aku ingin menumpang tidur di kamar,di dapur sangat dingin." suaranya pecah, gemetar menahan dingin yang menyelimutinya. Sekilas, pintu kamar Aksara tertutup dengan kunci yang berdentang keras. Tatapan pria itu menusuk, dingin, tanpa sepatah kata pun, lalu ia pergi meninggalkan

Minggu pagi yang sunyi menggantung berat di udara, seolah ikut merasakan beban di hati Quensa. Hari libur yang hanya setengah hari itu tak mampu menghapus gelisahnya—karena sore nanti, dia harus kembali terjerat rutinitas yang melelahkan. Kini, di dapur kecilnya yang sederhana, Quensa sibuk meracik sambal pedas, berusaha memuaskan hasrat ngidam yang sejak semalam menyesakkan dada. Mangga muda yang diidamkannya sulit didapat, tukang rujak sudah tutup saat dia pulang kerja. Maka dengan tangan gemetar, dia membuat sendiri, meski sepi menemani. "Seger banget... cukup yang ini saja, ya, sayang. Jangan minta yang aneh-aneh. Mommy kan tidak punya siapa-siapa untuk memenuhi keinginan mu..." suaranya pecah, tangan lembutnya mengelus perut buncit yang mulai membulat, air mata tak bisa ditahan jatuh perlahan di pipi. Kehamilan empat bulan ini membawa gelombang ngidam yang menyiksa, namun Quensa menahannya rapat-rapat. Bukan hanya karena dompet yang menipis, tapi juga karena pada siapa dia haru

Di kamar itu, Aksara terjaga dalam gelap, matanya menari di layar ponsel, berbalas pesan dengan Mona—kekasihnya yang jauh di sana. Namun, pesan demi pesan hanya menimbulkan kegetiran di dadanya. Bosan, ia membuang pandangannya tajam ke arah pintu yang masih terkunci rapat. “Kenapa dia tak juga masuk? Apa benar-benar sengaja memancing amarahku?” geramnya membara, api kesal mengoyak keheningan malam. Dengan langkah berat, Aksara mendekat ke tempat tidur di mana Quensa, istrinya, tertidur pulas. Tangannya terulur hendak meraih tangan itu, namun ragu mengurungkan niat saat wajah pucat sang istri terpampang jelas di bawah sinar redup. Jantungnya berdegup makin kencang, matanya terpaku pada dadanya yang kini terlihat sayu, tak seperti dulu—tubuh yang semula berisi, wajah cantik nan terawat, berubah menjadi sosok kurus dengan rona kusam. Ia menahan napas, namun pandangannya tak lepas dari perut yang mulai membulat pelan, tanda kehidupan baru yang bergelut di dalamnya. Malam itu, ruang hampa

Aksara terdiam, dadanya memburu oleh amarah yang terpendam. "Kenapa kalau aku cemburu? Aku istrimu, Aksara! Di mata Tuhan pun, kau suamiku, tapi apa kau sadar? Aku juga berhak bukan?" Suaranya bergetar, penuh kepedihan dan kemarahan yang melebur jadi satu. "Aku tak bisa menerima saat melihatmu mesra dengan wanita lain—meskipun itu pacarmu—karena aku yang berhak mendapatkan itu! Aku... istrimu!" Plakkk! Tamparan keras menyambut kata-katanya, nyaring membelah keheningan. Wajah Quensa yang rapuh seketika terkulai, lemah oleh hantaman Aksara yang membakar luka lama. Tapi Aksara belum selesai, suaranya menusuk tajam seperti belati, "Jangan kau coba berani mengatakan kata menjijikan itu, Dalam hidupku, kau bukan istri—kau hanyalah jalang untuk ku!" Quensa menatap tajam dengan sudut bibir berdarah, kesakitan membalutnya tapi ia menahan perih itu. Dengan senyum getir yang tersungging penuh luka, ia berkata lirih, "Kalau memang begitu, mana bayaran untuk jalangmu ini?" Aksara memba

Quensa terhuyung turun dari motor, langkahnya lunglai seakan membawa beban dunia. Setiap detik terasa menyiksa ketika ia melangkah menuju kontrakan kecil yang kini bagai neraka bagi jiwanya. Tiba-tiba, tubuhnya merosot jatuh dengan suara keras—brukkk!—menyentuh lantai dingin. Tangannya memukul-mukul dada yang membakar sesak dalam dada, sambil menangis pilu, "Ahhh, aku... aku tak kuat, Tuhan..." Air matanya tumpah tanpa henti, membasahi baju yang sudah basah kuyup, menggambarkan luka terdalam yang tak bisa ia sembunyikan. Tangisannya berubah menjadi histeris, suara penderitaannya membelah hening malam, membiarkan dunia tahu seberapa dalam amarah dan kesedihan itu menghancurkan dirinya. “Berdirilah!” Aksara menarik tangan Quensa dengan cengkeraman yang seperti mencabut nyawa. “Lepaskan aku, berengsek!” ledak Quensa, suaranya bergetar penuh amarah yang membara. “Quensa...” geram Aksara, suaranya serak tapi tak kalah keras. “Kau pikir aku ini apa? Manusia iblis? Kenapa kau bisa