Aduh Tak Tahan, Prof! のすべてのチャプター: チャプター 31 - チャプター 40

Dengan napas berat, Liam menyambar jasnya dan bergegas menyusul Hanna. Suara langkahnya menggema di koridor Valthera Institute yang hampir kosong.Lampu-lampu neon di langit-langit berpendar dingin, memantulkan bayangan mereka di lantai baja.“Hanna, tunggu!” seru Liam akhirnya, tepat sebelum Hanna menyentuh pintu keluar.Wanita itu berbalik setengah, air matanya berkilau di bawah cahaya redup. “Lepas, Prof!” suaranya serak, menggigit. “Kau sudah dapat semua yang kau mau—data, reaksi kimia, catatan emosi! Sekarang biarkan aku pergi.”Tapi Liam tidak melepaskan. Tangannya tetap di lengan Hanna, tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya.“Hanna…” suaranya lebih pelan, nyaris bergetar. “Kau pikir semua ini mudah bagiku?”Ia mengangkat perangkat kecil di tangannya—sebuah monitor implan portabel yang masih berkedip dengan data dari tubuh Hanna.“Aku mencoba melihatnya dari sisi ilmiah. Reaksi tubuhmu, denyut jantung, gelombang otak… semua logis. Tapi setiap kali aku menatapmu,

“Boleh aku ke sana?”Pesan itu muncul di layar komunikator Hanna—nama pengirimnya membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Hanna mengetik cepat, “Jangan! Mama curiga…”Namun belum sempat ia menarik napas lega, suara berat yang familiar terdengar dari ambang pintu. “Ehem.”Sosok Liam sudah berdiri di sana, bersandar santai di kusen pintu seolah pesan tadi tak pernah ada. “Prof—!” Hanna langsung bangkit, menariknya masuk, dan buru-buru mengunci pintu kamarnya. “Aku bilang jangan!” desisnya panik.Liam hanya mengangkat alis, menatapnya dengan tatapan yang nyaris menggoda. “Tapi aku sudah di sini…”Hanna memelototinya, namun rona wajahnya tak bisa berbohong. Ada gugup, ada sesuatu yang sulit ia kendalikan. Peristiwa di kampus siang tadi masih menempel di pikirannya—dan kini, jarak di antara mereka terlalu dekat.Liam membenahi kacamatanya. Kali ini, senyum smirk-nya berganti dengan senyum lembut yang membuat wajah seriusnya terlihat jauh lebih muda—nyaris seperti anak dua puluhan. “Pr

Hanna keluar dari kamar mandi dan terkejut melihat Lily sudah menunggunya di kamar. Ia merasa seperti anak kecil yang akan didandani untuk pesta ulang tahun.“Ma… aku bisa sendiri,” ucap Hanna, buru-buru mengambil pakaian dalam yang sudah ia siapkan.Backless panjang sampai tumit, sleeveless, dengan belahan dada rendah—gaun yang disiapkan Lily terlihat terlalu berlebihan untuk sekadar makan malam keluarga.“Lihat, kamu salah ambil pakaian dalam. Untuk gaun seperti ini kamu gak bisa asal, sayang,” kata Lily lembut tapi tegas, lalu menyerahkan sebuah kotak berwarna pink.Begitu dibuka, mata Hanna langsung membulat. “Mama… ini… aku gak bisa deh,” tolaknya cepat.“Coba saja. Karena modelnya backless, kamu gak bisa pakai bra seperti itu.” Lily membuka kaitan bra Hanna sebelum gadis itu sempat menolak lebih jauh. Ia menggantinya dengan nipple tip, lalu menatap puas.“Sekarang ganti celana dalam kamu, Hanna,” perintahnya—lebih terdengar seperti keputusan final daripada saran.Setelah itu Lil

Suara langkah kaki mendekat dari arah toilet wanita membuat Hanna menegang. Dengan panik, ia menutup mulutnya sendiri dengan tangan, menahan setiap desahan yang ingin meloloskan diri. Air mata menggenang di pelupuk matanya, akibat gelombang kenikmatan yang terus diaduk-aduk oleh jemari Liam di tempat yang paling dalam dan rahasia.Dia menggeleng lemah, sebuah isyarat untuk berhenti. Namun, sang profesor berkacamata itu hanya menyeringai dingin. Matanya, yang biasanya penuh logika, kini gelap oleh cemburu dan nafsu posesif. Dia justru semakin intens, seolah ingin menghapus setiap kenangan sentuhan Ryan pada tubuh Hanna dengan klaimnya sendiri.Tiba-tiba, gerakan Liam berhenti. Ia merasakan jarinya dijepit erat oleh kontraksi tubuh Hanna, diikuti oleh semburan cairan hangat yang membasahi jarinya. Nafas Hanna terengah-engah, tubuhnya lunglai dan ia bersandar, menempelkan keningnya yang berkeringat di dada Liam yang juga naik turun tak beraturan."Professor... kamu gila...," bisik Hanna,

Hanna hanya duduk di sisi ranjang, menatap Lily yang sibuk mengemasi pakaian ke dalam koper. Hampir semua pakaian yang dimasukkan masih baru, labelnya bahkan belum dilepas. Lily benar-benar memanfaatkan statusnya sebagai istri Julian O’hara.Yang membuat Hanna heran, kenapa semuanya seperti itu—terlalu terbuka, terlalu… berlebihan.“Ma, kenapa bajunya semua begini?” tanya Hanna akhirnya. “Ini kayak… baju perempuan yang mau ditiduri kekasihnya, bukan buat liburan.”Lily tidak menoleh. “Kalian liburan di pantai, sayang. Masa iya mau pakai sweater musim dingin?”“Lalu ini?” Hanna mengangkat sepotong lingerie renda dari koper. “Kami belum menikah, Ma.”“It’s legal,” jawab Lily cepat. “Kalian sebentar lagi menikah.”Hanna mendengus, suaranya bergetar antara kesal dan getir. “Begini caranya Mama? Aku jadi kelihatan seperti menjual diri. Mama mau Ryan merendahkanku?”Lily berhenti. Tangannya menggantung di atas koper. “Kalian bertunangan, Hanna. Justru ini akan membuat Ryan berpikir kamu ant