All Chapters of Perselingkuhan di Siang Hari: Chapter 41 - Chapter 50

Arhan pulang, kamar sudah gelap. Ia sempat berpikir istrinya sudah tidur, tapi lampu meja tiba-tiba menyala.Dewi duduk bersandar sambil melihat jam dinding.Sudah lewat jam dua belas.“Kamu baru pulang?” tanyanya.“Iya. Kenapa bangun? Tidur lagi aja.”“Aku belum benar-benar tidur,” jawab Dewi sambil merapikan rambutnya yang berantakan. “Dari tadi nggak bisa tidur. Emang sebanyak itu ya tinjauan kamu ke kantor cabang? Sampai seharian nggak bisa dihubungi?”“Maaf, aku nggak sempat lihat HP.”Dewi mengangkat satu tangan, telapaknya terbuka.“Mana oleh-olehnya?”“Oleh-oleh?” Arhan mengerutkan dahi.“Hehe, bercanda.” Dewi tersenyum. “Aku sampai mikir kamu pergi sama wanita lain, loh.”Langkah Arhan terhenti. Ekspresinya kaku sesaat.“Tapi nggak mungkin,” lanjutnya dengan tawa ringan. “Katanya, cuma orang-orang yang pintar ngomong yang bisa nipu. Kamu kan bukan tipe itu.”Arhan ikut tersenyum seadanya. “Lain kali aku akan bawakan oeh-oleh.”“Enggak. Lain kali kita harus pergi bareng.”“Hm

Di rumah, Dewi berdiri di depan ruang kerja suaminya sambil memegangi kenop pintu. Tangannya dingin. Ia tahu ia seharusnya tidak melanggar privasi suaminya, tapi kegelisahan semalam membuatnya seperti pecah dari dalam.Ia masuk.Ruang kerja itu rapi seperti biasa, tapi kali ini terasa terlalu rapi, seakan seseorang dengan sengaja untuk tidak meninggalkan sebuah kecerobohan.Dewi membuka laci satu per satu, mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa tidak percayanya. Tangannya bergerak cepat namun gemetar, sementara pikirannya sendiri kacau—bahkan ia tidak tahu persis apa yang sedang ia harapkan untuk ditemukan.Kertas-kertas di dalam laci tersusun terlalu rapi. Tidak ada parfum asing yang menempel, tidak ada struk makan berdua, tidak ada kartu parkir hotel, tidak ada apa pun yang biasanya muncul dalam cerita perselingkuhan.Lalu ia mencoba menyalakan komputer, berharap ada sedikit jejak yang tertinggal di sana—riwayat pencarian, file, apa saja yang bisa mengonfirmasi firasat buruknya. De

Di dalam mobil, sikap Dewi sudah lebih adem. Tapi kali ini justru Arhan yang terlihat gelisah. Pandangannya tidak fokus, pikirannya melayang entah ke mana—sampai-sampai ia hampir menabrak seseorang yang hendak menyeberang.“Arhan! Awas! Depan ada orang!” Dewi berteriak panik. Tangannya reflek menahan dashboard depan.Arhan tersentak. Ia menginjak rem sekuatnya.Orang di depan sana menoleh marah-marah.“Bawa mobil yang bener dong!” hardiknya sebelum berjalan lagi.Dari dalam Arhan hanya mengatupkan tangan, memberi isyarat permohonan maaf.Dewi menghela napas panjang, masih syok. “Kamu kenapa sih? Kok nggak fokus gitu?”“Maaf.” Arhan hanya bisa menjawab itu.Dewi memalingkan wajah, suaranya meninggi, “Kayaknya pikiranmu tuh bukan di sini, deh. Kamu ngajak aku makan siang, tapi hati kamu … kayaknya nggak lagi di sini sama aku.”“Nggak gitu, Dew,” ucap Arhan pelan, mencoba menenangkan."Udah, nggak usah bohong. Aku punya mata, Han. Aku bisa bedain mana suami yang beneran pengen makan sian

Tangis Dinda membuat Aris benar-benar kelabakan. Ia berlutut, berusaha meraih putrinya, tapi Dinda justru menangis semakin keras. “Huaaaaa! Aku mau pulang! Aku nggak mau di siniiii! Aku nggak mau sama Papaaaa!” Kiara mencoba mendekat, ikut menenangkan, tapi tangan kecil itu langsung menepisnya. “Aku juga nggak mau sama Tante!” Kiara langsung terdiam. Lalu, dengan napas yang masih ia tahan, langkahnya mundur ke dapur untuk memberi ruang bagi Aris dan Dinda. Di belakangnya, suara Aris terdengar meninggi—kecewa dan lelah bercampur jadi satu. “Ya sudah! Kalau kamu mau pulang sekarang, Papa antar! Tapi nggak ada pergi-pergi, nggak ada pesta kembang api!” “Papa jahat!” tangis Dinda memecah lagi. “Papa udah nggak sayang Dinda! Papa lebih sayang Tante Kiara!” Ucapan itu menghantam Kiara seperti batu besar. Ia mematung di ambang dapur, tak sanggup bergerak. Aris terpaku mendengar kalimat itu dari anaknya sendiri. Ia mencoba mendekati, tapi Dinda sudah lebih dulu lari ke kamar—sebuah k

Kiara pulang ke rumah, dan seperti yang sudah ia duga, Aris tidak ada. Dalam keadaan begini, mustahil suaminya pulang. Ia pasti ikut Lestari untuk menenangkan Dinda. Kiara berdiri di ruang tamu, merasa benar-benar kehilangan arah. Tangannya sempat bergerak membuka kontak ponsel, hampir menekan nama Arhan, tapi ia berhenti. Jam segini Arhan pasti sudah di rumah bersama istrinya. Akhirnya, ia menekan nama yang sudah lama tidak ia hubungi. Ibunya. Sudah lama ia tidak bercerita apa pun kepada orang tuanya. Ia selalu bilang semuanya baik-baik saja, seolah hidupnya tetap selalu rapi tanpa masalah, tapi malam ini, ia merasa benar-benar mentok. Ada dorongan untuk sekadar mendengar suara ibunya, meski ia sendiri tidak tahu harus bercerita dari mana. “Assalamualaikum, Bu ..., Ibu lagi apa?” tanyanya pelan. “Waalaikumsalam, Ra. Ini ibu lagi masak buat nanti malam. Ada apa, Nak? Suara kamu kok kayak kurang sehat? Kamu baik-baik saja, kan?” “Kiara sehat kok, Bu." Ia berusaha tersenyum mes