All Chapters of Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra: Chapter 41 - Chapter 50

Tiga hari sudah Kilan mengabaikan Isla. Lelaki itu tidak menegur, tidak bertanya, tidak mengamuk atau bahkan menganggu Isla saat berangkat ke kantor.Setiap kali Isla masuk ke ruang kerja itu, ia menemukan pemandangan yang sama. Kilan duduk di balik meja, kemeja putihnya terbuka di dua kancing atas, rambutnya berantakan, dan meja dipenuhi tumpukan kertas yang tak jelas arah. Lelaki itu menatap lembaran-lembaran dokumen dengan wajah serius, meski Isla tahu pasti, separuh dari apa yang ia baca bahkan tak ia mengerti.“Ckk.. sialan.. merepotkan” gumam Kilan rendah, nada frustrasinya memecah kesunyian ruangan.Isla yang duduk di sofa seberang hanya tersenyum tipis. Ia tahu betul pola itu, Kilan yang pura-pura sibuk, pura-pura tidak peduli, padahal sedang menahan diri agar Isla yang lebih dulu mendekat.Kilan bisa saja keras kepala, tapi egonya lebih besar dari logikanya.“Kamu butuh bantuan, Kilan?” suara Isla lembut, penuh kesaba

Lelah dengan rutinitas kantor, Isla memutuskan untuk mengambil sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Kebetulan saat ini sedang weekend. Jadi, Isla ingin bernapas tanpa beban, tanpa laporan dan tanpa Kilan yang menuntut perhatian.Untuk masalah Kilan?Lelaki itu sedang berada di luar negeri bersama Joseph, membahas rencana ekspansi perusahaan cabang. Dan sebenarnya, Isla sendirilah yang menyarankan Kilan pergi.Isla tahu, Kilan butuh ruang untuk belajar memahami bisnis tanpa terus bergantung padanya. Lagipula, jarak sementara mungkin akan membuat keduanya sedikit lebih tenang. Terutama Isla yang sudah terlalu lama menahan lelah tanpa jeda.“Akhirnya aku bebas lagi..” Gumamnya seraya berjalan keluar dari kamar pribadinya di kediaman Dhirendra“Isla mau ke mana?” tanya Sarai penasaran, suaranya terdengar dari bawah tangga.Isla yang baru turun sambil merapikan tali jam tangannya menatap sang ibu mertua dengan senyum tipis

Adnan masih berdiri bersama Ferania, membicarakan sesuatu dengan staf butik. Ia tampak tenang, tapi pandangan matanya sesekali melirik ke arah Sarai. Lalu, tanpa suara, ia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Ferania dan berbisik rendah, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali wanita di sisinya.“Temui mereka.” Bisik AdnanFerania sontak menoleh, wajahnya memucat sedikit. “Apa? Maksud papa apa?”Adnan hanya mengangkat alis. “Tunjukkan sikap manismu, Ferania. Nyonya Dhirendra harus menyukaimu lebih dulu sebelum yang lain. Lagipula mereka sudah tahu kita ada di sini”Ferania menggigit bibirnya, mencoba menenangkan degup jantungnya yang mendadak cepat. “Tapi tadi dia lihat kita berdua” gumam Ferania“Kalau begitu kita sapa dan bilang kita sedang mencari hadiah untuk ulang tahun mamamu” Ucap AdnanFerania mengangguk, ia memperbaiki gaunnya, memastikan ekspresinya lembut dan polos. La

“Taruh di sini saja,” ucap Sarai sambil menunjuk meja di ruang tamu. Beberapa paper bag besar dari butik ternama diturunkan satu per satu oleh pengawal dan pelayan. Logo butik berkilau di atas kertas tebal berwarna krem, menyisakan aroma lembut parfum ruangan dari toko tempat mereka tadi berbelanja.Isla menepuk pelan tangannya sendiri, setengah tertawa.“Banyak juga, ya, Ma. Kayak mau buka butik baru.”Sarai terkekeh, duduk di sofa dengan elegan. “Ya, maklum. Tiga tahun tidak belanja dengan anak perempuan, sekali keluar, rasanya semua lucu di mata Mama.” Ia menatap paper bag itu sebentar, lalu menoleh pada Isla dengan tatapan yang lembut, tapi ada sesuatu di baliknya, kerinduan yang selama ini dipendam.“Sudah lama Mama nggak seasyik itu belanja. Biasanya cuma duduk diam saja dan mereka seperti cepat-cepat mau pergi.” Sambung Sarai, nada suaranya hangat dan tulus.Isla ikut tersenyum. “Aku juga, Ma. Sudah lama nggak belanja, sekalinya belanja malah kalap.” Kekehnya ringanSarai memand

Beijing, Republik Rakyat Tiongkok.19:20.Kilan duduk di kursi penumpang di dalam mobil mewah yang meluncur perlahan di antara gedung pencakar langit Beijing. Pemandangan lampu kota yang berkilau di malam hari seolah menelan tubuhnya, tapi matanya tetap kosong, fokusnya hanya pada sosok pria di sebelahnya, Joseph Dhirendra, papanya.Joseph menatap layar tablet di tangannya, sesekali menulis catatan, sesekali memeriksa grafik saham dan laporan bisnis yang rumit. Suara perbincangan telepon sesekali terdengar dari speaker teleponnya, nada tegas dan otoriter, membuat setiap orang yang mendengarnya seakan menunduk tanpa sadar.Kilan hanya duduk di sana, tangannya menopang dagu, mencoba memahami setiap kata yang terucap dari sang papa. Namun kenyataannya, ia belum mengerti banyak tentang apa yang Joseph bicarakan, laporan laba rugi, strategi investasi, pengambilalihan perusahaan, hingga manajemen aset global. Semua itu terdengar seperti bahasa asing bagi Kilan.